Sabtu, 09 Agustus 2008

Saatnya Jadi Idola

“Kamu liat ga penampilan si Joko kemarin?”
“Memangnya dia menang?”
“Dapat duit berapa?”
“Hebat juga tuch dia. Ngetop donk”
Perbincangan sepotong-sepotong itu sekonyong-konyong terdengar di telingaku. Aku terbangun dari tidurku. Tapi mengapa aku tidak bisa membuka mataku? Badanku pun lemas sekali rasanya.
Oh, aku terkena eureup-eureup pikirku. Padahal sudah bertahun-tahun aku tidak mengalaminya lagi. Eureup-eureup adalah sebutuan ibuku buat keadaan di mana kita berada di antara antara dunia mimpi alam bawah sadar kita dengan dunia nyata. Tapi kita tidak bisa terbangun, karena ada sesuatu menindih kita.
“Itu akibatnya, kalau mau tidur tidak berdoa dulu!” kata ibuku waktu aku masih kecil dulu. Tapi ibuku tidak pernah menjelaskan dengan gamblang apa yang menindihku jika terkena eureup-eureup. Aku hanya mendapatkan keterangan berbau mistis dari teman-teman sepermainanku tentang gejala eureup-eureup ini.
Aku mencoba menyingkirkan sesuatu yang menindihku ini dari badanku.Biasanya dengan sedikit usaha dan konsentrasi, akan menghilang.Namun situasi kali ini amatlah berbeda. Aku tetap merasa lemas, tak berdaya, bahkan sedikitpun aku tidak bisa mengangkat kelopak mataku.
Apa ini? Di mana aku? Aku yakin masih ada di dunia nyata. Aku belum mati.
Suara dua orang yang sedang mengobrol tadi makin jelas di telingaku.
“Dapat hadiah berapa ya si Joko?
Di tv mana sich?
Koq aku ga liat?” suara perempuan bernada tanya
“Di RCTI. Nama acaranya Saatnya jadi Idola!” jawab si pemilik suara laki-laki. Pembicaraan santai itu makin dekat di telingaku.
“Astagfirullah….” Gumamku. Aku baru tersadar, aku baru saja melewati ujian paling berat dalam hidupku. Operasi jantung. Ya.. terakhir kali yang kuingat, sorotan lampu besar itu menyilaukanku. Lantas sejurus kemudian aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
Aku mencoba menggerakkan tanganku.
Tidak bisa.
Ya Allah… apa yang terjadi padaku? Inikah yang disebut orang-orang dengan koma? Untuk pertamakalinya aku merasakan ketakutan yang luar biasa.
Terakhir kali sebelum tindakan operasi dilakukan, aku berbicara dengan suamiku. Aku berpesan, jika setelah operasi aku mengalami koma dan tidak terbangun lagi, dan hanya bisa bernafas karena bantuan alat-alat, kemudian dokter memberikan pilihan pada keluarga untuk membiarkan keadaan ku seperti itu atau mengakhirinya, aku memohon agar pilihan yang kedua yang diambil oleh suamiku. Aku tak mau bernasib seperti artis sinetron Sukma Ayu yang menempatkan keluarga pada posisi makan buah simalakama. Aku rela. Aku ikhlas.
Tapi sesungguhnya aku tidak menyangka, jika rasanya akan begitu sedemikian mengerikan. Aku juga teringat seorang ustadz di majelis taklim pernah mengatakan, bahwa pendengaran lah yang terakhir dicabut oleh Malaikat Maut saat kematian menjemput.
“Bu.. bangun Bu! Operasinya sudah selesai!” bisik sebuah suara milik perempuan yang tadi terdengar berbincang.Plok! Plok! Plok! Terasa tamparan tangan bertubi-tubi mengarah ke pipiku. “Ya…ya..ya… aku mau bangun”, teriakku.Oh Tuhan! Tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Bibirku pun kelu!
“Bu… ibu dengar suara saya? Kalau ibu dengar, anggukan kepala ya Bu…” perintah suara itu lagi.
Aku mengangguk. Aku merasa telah mengangguk. “Gimana ini Dok?” suara perempuan itu terdengar lagi bertanya entah kepada siapa. Aku tak mampu melihatnya. Gelap.
Tiba-tiba sebuah sinar menyilaukanku. Mata sebuah lampu senter menyorotiku. Rupanya ada jari-jari tangan yang membuka kelopak mataku dengan paksa.
Tampak wajah laki-laki berkumis dan berbaju putih di hadapanku. Jari-jari di tangan kirinya terus memegang kelopak mataku. Sedangkan tangan kanannya terus digerak-gerakkan memegang lampu senter ke kiri, ke kanan, ke atas dan ke bawah.
Aku mencoba mengerakkan bola mataku mengikuti sorotan sinar cahaya itu.
Seolah aku ingin berteriak kepada laki-laki di hadapanku dan tiga orang lagi di belakangnya
“Hai…aku hidup. Aku sadar. Aku mendengar semua perkataan kalian! Tapi aku tidak bisa bergerak!
Hanya beberap detik saja. Jari tangan itu melepaskan lagi kelopak mataku.
Mataku terpejam lagi. Gelap lagi.
“Ya sudah… tranfusi aja” perintah sebuah suara laki-laki dengan nada berat.
“Berapa labu dok?” tanya suara yang perempuan yang lain.
“Dua labu saja”, terdengar lagi suara pemberi perintah.
Dan, semuanya kembali gelap.Aku kembali tertidur dan bermimpi bertemu Joko si perawat yang kini menjadi idola….

Tidak ada komentar: