Jumat, 08 Agustus 2008

BAND TITANIC

Duk! Duk! Duk! Bunyi dengan tempo konstan itu makin lama makin jelas di telinga serupa palu godam yang dipukul-pukulkan ke kepalaku. Tawa cekikik riang suster-suster yang tuntas bertugas, seperti sengaja meledek aku yang sudah tak mungkin lagi tertawa. Sayup-sayup suara nyaring perempuan mirip Rossa melantunkan Ayat-ayat cinta bagiku terasa menyayat-nyayat lubuk hati. “……….pengorbanan cinta yang agung, kupersembahkan……”
Kantuk ini sudah menyerang. Tapi sedikitpun aku tidak bisa memejamkan mata. Sudah pukul 10 malam. Aku tak habis pikir, di sebuah ruangan kelas satu, gedung baru rumah sakit rujukan terbesar di Bandung, pasien yang seharusnya bisa tenang untuk istirahat, malahan diganggu dengan keributan yang tak perlu terjadi.
Duk! Duk! Duk! Suara itu terdengar lagi, bersahut-sahutan persis perkusi mengiringi alunan original sound track film yang katanya fenomenal tapi tak sempat aku tonton karena keburu sakit. Kedengarannya Rossa palsu itu sedang latihan untuk sebuah pementasan. Usai sampai ending lagu itu, kembali intro di awal lagu diperdengarkan.
Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku. Kuraih tombol bel yang menempel di atas sandaran ranjangku. “Sebenarnya fungsi bel ini apa sich? Bukankah diperuntukkan sebagai panggilan darurat jika pasien membutuhkan pertolongan perawat? Tapi kenapa tidak ada kabel yang menyambung supaya pasien tidak bersusah payah harus bangun hanya untuk memencetnya? “ aku bergumam sendiri. “Semprul nich orang yang bikin!” gerutu aku lagi.
“tit…tit..tit…tit..tit… sudah lima kali bunyi “tit” itu terdengar. Tapi tak ada langkah sepatu suster datang ke kamarku. Ku pijit lagi untuk yang kedua kalinya. Bunyi "tit" itu sayup-sayup terdengar lagi. Sampai 10 kali. Satu, dua, tepat dihitungan ke tiga, muncullah perempuan muda cantik berkerudung putih membuka tirai yang membatasi tempat tidurku dengan ranjang di sebelahnya.
“Kenapa bu….?” Tanyanya sedikit jutek.
“Suster, apakah ini cuma khayalanku? Atau suster juga mendengarnya? ada pertunjukkan band di gedung ini”, kataku dengan nafas naik turun.
Tidak ada jawaban. Suster itu hanya diam sambil mengernyitkan kening dan memicingkan matanya. Mencoba mencari sumber suara yang aku maksudkan. Kemudian dia memonyongkan mulutnya.
Aku mencoba menebak-nebak ekspresi si suster. Pikirnya aku ini cuma menyusahkan dia yang baru saja aplusan dengan teman-temannya yang kini sudah dengan damai pulang menuju rumah masing-masing.
“Bukan apa-apa bu…, itu suara residen yang lagi latihan nyanyi. Besok bakal ada acara brevet. Ibu tidur ya…!” katanya mencoba menenangkanku.
“Brengsek!” sungut aku. Sementara pasien-pasien sedang berjuang hanya untuk sekedar tidur, dokter-dokter calon spesialis itu bernyanyi-nyanyi ria bersiap-siap merayakan kesuksesan teman mereka yang bakal dianugerahi gelar baru di belakang gelar selama ini. Gelar baru itu lah yang akan menambah jauh lebih banyak pundi-pundi mereka. Sales-sales obat utusan perusahaan farmasi bakal makin rajin mengejar-ngejar mereka. Menawarkan produk terbaru, memberikan goody bag yang isinya bolpen, pensil, penggaris, buku memo, atau alat tulis lain dengan sablonan merk obat. Atau detailer obat yang kini rada naik pangkat dengan istilah medical representative itu bakal menawarkan sebuah acara presentasi pada saat makan siang atau malam di sebuah restoran terkenal. Bahkan bonus spesial ibarat hidangan utama berupa mobil atau liburan ke luar negeri dengan dalih konfrensi kesehatan internasional yang tidak lain ujung-ujungnya cuma dagang obat baru.
“Kalau suara duk duk itu apa sus?” tanyaku lagi
“Oh… itu suara tukang lagi benerin kamar sebelah’, jawabnya enteng.
“Gila!” pikirku. Kubiarkan suster itu ngeloyor dari pandanganku.
Tiba-tiba aku teringat suamiku pastinya kini sedang duduk melamun memandang kaca jendela yang gelap di dalam kereta api dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Memikirkan darimana dia mencari uang sebesar 60 juta untuk membayar operasi bedah jantung terbuka isterinya .
Ya..tadi pagi-pagi sekali dia sudah pergi ke sebuah rumah sakit di bilangan Slipi menjajaki rencana kepindahanku untuk dirawat di sana. Mudah-mudahan dia membawa kabar baik. Aku sudak mantap untuk meninggalkan rumah sakit tempat aku dirawat sekarang. Aku merasakan suasana yang mencekam di sini. Genap sepuluh hari sudah aku terbaring di sini. Tapi aku merasa sedang terperangkap di salah satu kabin mewah kapal raksasa Titanic yang terombang-ambing di tengah lautan dan sebentar lagi karam karena baru saja menabrak gunung es.
Nafasku semakin berat. Aku beranjak lagi. Tanganku meraih regulator tabung oksigen. Kuraih juga selang yang melingkar-lingkar di atasnya. Pelan-pelan kucolokkan dua lubangnya di kedua lubang hidungku. Kuhirup dalam-dalam aliran udara yang bergerak dan membuat bulu hidungku menari-nari kegelian.
……Maafkan bila ku tak sempurna….Cinta ini tak mungkin ku cegah…. Duk! Duk! Duk!
Suara serak-serak basah penyanyi karbitan dan pukulan palu yang tiada henti makin memekakkan telinga. Aku mencoba menikmatinya. Semakin aku dengarkan, pikiranku semakin melayang. Teringat penggesek biola dan cello yang memainkan melodi di tengah kepanikan penumpang kapal sampai Titanic tenggelam…..

Tidak ada komentar: