Jumat, 29 Oktober 2010

MABUK NUKLIR

Empat tahun lalu, di sebuah seminar kedokteran, aku menyaksikan presentasi seorang dokter spesialis radiologi FK Unpad yang sedang menjajaki proyek kerjasama dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional atau BATAN untuk menghasilkan contrast agent, serupa zat yang digunakan untuk meningkatkan kontras struktur atau cairan dalam tubuh dalam pencitraan medis.

Perhatikanku biasa-biasa saja pada seminar kesehatan seperti itu layaknya liputan kesehatan biasa. Kerjaku sebagai Public Relation, wartawan dan pengelola media FK Unpad hanya terbatas pada meliput kegiatan tersebut dan menerbitkannya dalam portal berita dan majalah bulanan " wartaefka".

Namun saat itu aku sempat berdecak kagum pada penelitian yang dipresentasikan, walau sebenarnya aku hanya mampu mengerti sepotong-potong. Yang jelas, proyek itudibiayai program hibah bersaing yang nilainya milyaran rupiah. Proyek itu punya niat mulia. Tujuannya agar biaya observasi penunjang diagnose oleh dokter melalui MS CTscan dan MRI yang ditanggung pasien tidak terlampau mahal.


Seperti awam tahu, selain ongkos membayar para ahli, pembelian dan pemeliharaan alat-alat canggih buatan luar, ternyata tingginya biaya yang harus dibayar pasien dalam pindai memindai tubuh ini, berkaitan dengan contrast agent yang harganya cukup mahal. Mahalnya harga contrast agent diakibatkan zat tersebut hingga saat itu belum bisa diproduksi di dalam negeri. Nah, dengan penelitian ini, diharapkan nantinya contrast agent dapat diproduksi oleh BATAN denga harga yang jauh lebih murah.


Tapi sungguh! Aku tak menyangka. Jika kini zat yang namanya contrast agent itu akan mengalir juga di dalam tubuhku. Tidak tanggung-tanggung 3 kali aku merasakan cairan nuklir itu menjalar ke seluruh tubuh. Dua kali disuntikkan ke dalam pembuluh darahku lewat jarum dan selang infuse. Satu kali lagi cairan nuklir itu harus aku tenggak. Empat gelas besar sekali minum.


Jangan tanya bagaimana rasanya. Saat cairan itu sedikit demi sedikit menjalar ke seluruh tubuh. Ada rasa hangat seperti minum air teh di sore hari. Tapi sejurus kemudian, cairan nuklir itu serasa mengaduk-ngaduk perutku. Kepalaku pusing. Perasaan mual dan ingin muntah menyelimutiku.


Ya, CTScan jantung, abdomen dan pembuluh vena. Tidak ada satu pun yang lebih baik dari ketiganya. Semuanya bikin aku sempoyongan! Mabuk nuklir!!


Sempat terpikir olehku, efek samping zat itu ke dalam fungsi tubuhku yang lain. Belum lagi efek penyinaran foto itu buatku. Melihat alatnya saja pertama kali bikin aku merinding. Mesin berterowongan itu belum apa-apa sudah membuat aku lemas. Beberapa menit sebelum alat itu memindai tubuhku, mesinnya harus dipanaskan dulu. Mendengar deru mesinnya saja, dadaku ngilu dibuatnya. Aku merasa mendengar putaran gurinda yang siap mengasah.


Aku harus berbaring di tempat tidur panjang yang pelan-pelan keluar masuk terowongan jika mesinnya digerakkan. Kemudian dinding terowongan itu berputar mengelilingiku. Aku harus menarik dan mengeluarkan nafas sesuai perintah dokter atau instruksi gambar yang menempel di langit-langit terowongan.


Dan yang paling menyeramkan, saat cairan nuklir itu disuntikkan ke dalam tubuhku. Uratku seperti dicubit melilit. Sakit. Aku merasa seperti dokter gila dalam film Hollowman yang diperankan Kevin Bacon. Saat cairan itu mengalir ke dalam reliku pembuluh darahku. Lama-lama aku seperti melayang. Hanya tidak transparan seperti dalam special effect dalam film itu.


Tapi aku harus menjalani. Demi cairan nuklir itu bisa berpendar bercahaya, dan menghasilkan gambar. Foto-foto itu dibutuhkan dokter jantung dan dokter bedah untuk mengambil tindakan yang tepat. Dokter tidak mau berjudi mengambil tindakan tanpa rekomendasi yang tepat.Tidak ada bedanya rupanya kerja dokter dengan wartawan sepertiku. Semuanya harus Evidence Based.

Sementara aku terbaring, dokter-dokter itu mengamati isi badanku lewat monitor besar yang terpasang di ruang sebelah tempat aku dipindai. Mereka berdiskusi. Mengaguk-anggukkan kepala. Kemudian mencetak hasil fotonya, menulis lembar konklusi, untuk diserahkan kembali ke dokter jantungku.

Wuih.. Aku merasa jadi kelinci percobaan dalam kotak kaca. Atau tikus putih dalam labirin yang kebingungan mencari jalan keluar. Diamati dan dicatat setiap reaksi dan pergerakannya dalam sebuah laboratorium.

Ya, empat tahun sejak penelitian contrast agent yang aku liput dalam seminar dulu. Aku tidak sempat mengetahui perkembangan penelitian itu berhasil atau tidaknya. Apakah contrast agent yang disuntikkan dalam pembuluh darahku adalah contrast agent yang murah meriah, buatan Indonesia? Atau masih diimpor karena buatan luar??

Yang jelas , tiga juta rupiah untuk sekali pindai masih saja terasa mahal buat pasien seperti aku atau pasien manapun di Indonesia. Tiga Juta rupiah hanya untuk sekedar mabuk nuklir. Mabuk termahal di dunia untuk minuman dan cairan yang tidak akan pernah ditemukan di Bar, Pub atau CafĂ© mana pun….

Senin, 18 Oktober 2010

Nista Maja Utama

“Gwe gak punya nasehat buat lo! Kalo gwe di posisi lo, gwe juga gak tau mesti gimana . Gwe cuma bisa berdoa!,” begitu salah satu pesan sahabatku saaat menengokku di rumah.
Pesan serupa tapi tak sama datang dari sahabat dan teman-temanku yang lain. Mereka satu persatu atau bergerombol datang menjengukku dan mencoba menghiburku dengan cara mereka masing-masing. Sejak kemarin ponsel ku terus berbunyi. Telepon dan sms puluhan kali aku terima. Wall dan message box di FB ku pun penuh. Isi nya sama. Mereka berdoa buat aku.
Setiap kali mendengar dan membaca pesan dari mereka, air mataku selalu tumpah ruah tak bisa kutahan. Kadang aku bisa menangis sejadi-jadinya. Semalaman. Suamiku biasanya akan berusaha menenangkanku. Entah kali keberapa pundaknya ikut basah menjadi kolam tampung tangisanku.
Banyak sekali orang yang menyayangiku….. jeritku dalam hati.
Siang tadi kakak-kakakku datang menengok. Mereka mencoba menunjukkan wajah ceria. Tapi aku tahu mata mereka berbicara. Bening kaca-kaca bergelayut di kantung mata mereka. Untuk ketiga kalinya mereka mencoba tidak menunjukkan ekspresi yang sebenarnya. Mereka ingin aku setegar baja.
Ibuku tak datang. Meski hati ini menginginkan kehadirannya. Tapi hati kecil ingin pula mengingkarinya. Mamah tak usah datang sekarang. Aku tak kuat membagi kisah ini lagi denganmu. Bagiku cukup doa-doa di setiap usai shalatmu. Cukup sudah linangan bulir air matamu di setiap tahajudmu. Jika waktunya tiba. Pasti aku akan meminta mamah hadir di sampingku.
Untuk ketiga kalinya aku akan menjalani operasi pengangkatan tumor di dalam tubuhku. Untuk ketiga kalinya mereka mendukung aku agar aku tetap optimis dan semangat.
Tapi sayangnya untuk ketiga kalinya juga aku harus menerima kenyataan. Pada akhirnya aku harus menghadapinya hanya dengan sendirian. Tanpa sahabatku, tanpa teman-temanku, tanpa saudara-saudaraku, tanpa suamiku bahkan tanpa ibu yang melahirkan aku.
Bayangan hitam itu kini kerap datang lagi dalam mimpi-mimpiku. Aku akan menghadapi masa kritis dan ketidakpastian yang sama. Atmosphere yang sama. Kabut gelap yang sama. Baunya sudah sampai ke hidung, terhirup ke tenggorokan, menyelinap ke paru-paru ku. Sesakku berlipatganda dibuatnya.
Pisau bedah itu sebentar lagi akan menancap. Tepat di luka parut yang sama. Luka yang tak bisa kuhapus hingga kini. Luka parut yang membujur tepat di tengah tubuhku seumpama garis khayal meridian utama yang mempertemukan kutub utara dan selatan di permukaan bola dunia. Sekilas nampak resleting jepang merk YKK di jaket daging dan kulitku. Sekali tarik saja akan membuka kantung yang dua tahun lalu telah ditutup.
Namun kantung itu pastinya isinya tak lagi sama seperti saat pertama kali dibuka. Kawat-kawat penyambung itu masih ada. Membentuk angka 8 berderet dan melingkar-lingkar di antara tulang iga penyangga dada.Sengaja teralis itu pernah digergaji paksa, agar isi di baliknya bisa terurai burai. Karena makhluk asing itu bersarang di dalamnya.
Untuk ketiga kalinya aku akan menghadapi masa-masa tersulit dalam hidupku. Pasca operasi yang harus aku jalani. Saat jiwa tersadar, namun badan hanya teronggok tak punya daya.
Untuk ketiga kalinya… Nista Maja Utama.
Ach..peribahasa Sunda itu tak kukira akan terngiang-ngiang ditelingaku akhir-akhir ini. Tiga rangkaian kejadian , berlangsung berturut-turut. Aku mencoba meyakinkan diriku. Ini bukan sumpah serapah. Dimulai dengan Nista yang tidak mengenakkkan, Maja yang rasanya pahit, dan yang terakhir adalah Utama. Aku mencoba menepis, Utama bukanlah berarti terakhir dan selamanya.
Aku mencoba mengorek dan berdialog dengan diriku sendiri. Terakhir.. Ini harus jadi operasi yang terakhir buatku. Operasi yang akan berhasil dan menyembuhkanku. Walau pernah terbersit pertanyaan dalam benakku, menghantuiku, pertanyaan yang jawabannya tak seorang pun tahu. Tuhan pernah memberikan kesempatan kedua buatku. Lalu masih adakah lagi kesempatan ketiga…….???

Minggu, 17 Oktober 2010

JAZZ KEMPES

Ting!…Ting!…. Suara metronome itu konstan memberikan ketukan dengan tempo legato. Rupanya seperti biasa, aku selalu saja ketiduran setiap suamiku anteng berkutat dengan lagu baru yang akan dia gubah ulang. Beberapa tahun terakhir ini software encore menjadi isteri ke dua nya setelah aku. Lagu apa saja mulai pop, rok, jazz, sampai dangdut pun bisa dia gubah sampai kadang berubah jauh dari aslinya. Biasanya dia akan mencari chord asli lagu yang akan dia gubah. Kemudian jari jemarinya akan dengan lincah menekan papan tuts laptop, mencantolkan satu persatu nada dari melodinya ke dalam kelompok garis-garis yang tersusun rapi. Bulir-bulir not itu ibarat buah yang tangkainya dieratkan lagi ke dahan setelah dipetik. Lima garis paranada yang tertera di layar komputer adalah pohonnya.
Sebelum berubah menjadi sebuah harmoni indah serupa orchestra, nada-nada itu akan berbunyi berulang-ulang tak beraturan dan kadang membuat pusing siapa pun yang mendengarnya. Belum lagi nada-nada itu keluar dengan suara yang berbeda-beda tergantung jenis instrument yang akan dipakainya. Suara trumpet, fluegle, melophone, trombone, baritone dan bas tuba muncul silih berganti. Tidak sampai di situ, petikan gitar sebagai salah satu alat musik yang dikuasainya , ikut meramaikan suasana kamar kami. Biasanya begitulah cara dia menentukan running-running chord sesuai kuncinya.
Tapi kali ini ada yang berbeda. Tidak terdengar nada-nada itu. Kamarku tidak seramai biasanya. Bahkan setengah hening.Yang terdengar hanya suara metronome yang terus berulang dengan tempo yang sama.Dengan mata setengah terpejam, aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah suamiku terlampau lelah, sehingga tertidur di kursi kerjanya ?
“Suster! Segera panggil suaminya!” tiba-tiba sebuah teriakan mengagetkanku.
Aku bingung, mengapa ada suara laki-laki itu ? Siapa dia? Aku berusaha membuka mataku. Berat.
Aku di mana ? tanyaku dalam hati
Aku menoleh ke samping. Pandanganku tidak jelas. Aku tak memakai kacamata.
Terdengar langkah sepatu karet terburu-buru menghampiriku.
“Pak.. kami minta Bapa tandatangan sekali lagi. Kami butuh persetujuan tindakan segera,” suara laki-laki itu terdengar lagi.
Di tengah kebingunganku, aku melihat siluet seseorang..Bentuk wajah itu. Ya.. aku sangat mengenalinya. Bentuk wajah yang akrab buatku. Wajah itu sering terbenam di dadaku. Wajah itu milik seseorang yang dua belas tahun lamanya menemaniku. Suamiku ada di sana. Dibalik tirai.
Suster ? Tindakan ? Mendadak aku tersadar. Aku masih di sini. Terkapar di atas tempat tidur di kamar ini. Ach…aku masih di ruang ICU. Suara tadi suara dokter yang menjagaku. Sejak kemarin entah berapa orang dokter dan suster yang giliran menungguiku, menjagaku, mengawasiku. Mata mereka tak lepas memperhatikan. “I See You” persis sekali nama ruangan ini dengan perlakuan mereka.
“Paru-paru ibu kempes. Sebelah kanan. Kami akan buat lubang di samping payudara ibu di bawah ketiak. Selang akan kami masukan ke sela-sela tulang rusuk ibu. Paru-paru nya butuh ditiup lagi.” Penuturan itu jelas di telingaku.
Kempes ?? Memangnya paru-paru ku ban motor atau mobil ?? aku bersungut dalam hati. Kulihat bayangan suamiku menerima sodoran bolpen dan selembar kertas. Ia menandatanganinya.
Untuk kesekian kalinya, suamiku menandatangani surat persetujuan tindakan atau medical informed consent . Pastinya tak terbayang sebelumnya oleh dia, janji sehidup semati dia padaku selama enam tahun pacaran plus enam tahun menikah, akan termasuk di dalamnya menandatangani selembar kertas yang menghalalkan apapun tindakan dokter pada isterinya, yang menentukan hidup atau mati.
Andai saja paru-paru ku seperti sebuah trumpet Shelmer Bach. Tak perlu dokter itu turut campur. Suamiku pasti menjadi orang pertama yang meniupnya. Sebelum menjadi pelatih dan arranger marching band, suamiku adalah peniup trumpet handal. Prestasinya sebagai solois horn line sudah me-nasional. Sempat dia dijuluki “the compressor” saking nafasnya tiada pernah habis meniupkan nada sampai lebih tiga oktaf. Kisah cinta kami pun dulu dimulai di lingkungan yang sama. Kami sama-sama peniup trumpet semasa kuliah dulu.
Aku teringat beberapa waktu sebelumnya saat vonis itu datang. Sejak aku mengeluhkan sering sesak dan jatuh pingsan. Dokter bedah jantungku datang menghampiriku. Memaparkan dengan hati-hati. Walau artikulasinya agak cadel, dia menjelaskan hasil observasi dan pemeriksaan nuklir pada paru-paruku.
“Ibu, selama ini ibu hidup hanya dengan sebelah paru-paru. Paru-paru ibu bekerja, tapi tidak terjadi pertukaran udara. Jika hanya dengan foto rontgen, gejala itu tidak terlihat”, tuturnya jelas.
“Ini hasil observasi kami pada paru-paru ibu. Ibu lihat, paru-paru yang kiri tampak terang. Sedangkan paru-paru kanan ibu tampak gelap lebih dari separuh”, logat Jerman nya nampak jelas menandakan ia menghabiskan masa kuliahnya di daratan Eropa sana.
Sejenak aku termenung memperhatikan BJ Habibie muda ini. Bukan karena aku ke-geer-an karena salah satu personil band The Doctors itu berhadapan denganku. Bukan karena kekagumanku atas permainan saxophone nya di ajang Java Jazz beberapa bulan sebelumnya. Bukan.
“Selama ini ibu tidak merasakan gejala apa-apa? “ tanya nya menyelidik.
Aku tak menjawab.Mana mungkin selama ini aku hidup hanya dengan sebelah paru-paru ?
“Aku ini mantan pemain trumpet . Sama seperti kembaranmu yang dokter spesialis jantung itu!” Teriakku padanya dalam hati.
Bedanya kalian berdua bermain di ajang internasional seperti Jak Jazz. Sedangkan aku hanya pemain trumpet kelas marching band. Marching Band mahasiswa lagi! Sungutku lagi, tetap dalam hati.
“Ibu olahraganya apa?” tanya nya lagi terus menelisik.
“Saya berenang dok. Bulan lalu saya pingsan saat bangkit dari kolam renang. Tapi anehnya saat berenang saya tidak merasakan apa-apa” jelasku.
“Ya..tumor di jantung ibu kan sifatnya mobile. Dia bergerak sesuai posisi ibu. Saat berenang, posisi Ibu kan horizontal. Seperti saat ibu tidur sekarang. Ibu tidak sesak kan? Tanya nya lagi. Sedangkan saat posisi vertical, tumor itu menghalangi jalan darah ibu ke paru-paru,” jelasnya lagi.
Aku masih terheran-heran. Bagaimana aku bisa bertahan selama ini?
“Tapi tak masalah. Ada beberapa orang di dunia ini yang hidup dengan sebelah paru-paru koq Bu,”katanya mencoba menenangkan aku. “Tapi tidak boleh terlalu cape, harus mengurangi aktivitas.
“Jadi, tidak ada cara lain, dada Ibu harus dibuka. Selain kita ambil tumornya, thrombus atau bekuan darah yang ada di paru-paru Ibu sebisa mungkin kita akan bersihkan. Kami akan usahakan agar paru-paru Ibu bisa bekerja lagi seperti semula.
Weks! Penjelasan gamblang itu tak mampu mengubah perasaan dalam hatiku. Tetap saja dadaku harus dibelek!
“Kemungkinan nya gimana dok?” tanyaku pelan
“Ya.. ini tindakan dengan resiko besar. Tapi tingkat keberhasilannya pun besar. Tidak masalah.” Katanya lagi.
Tidak masalah dengkulmu!! Aku menggerutu lagi dalam hati
“Tapi tumor itu jinak kan dok?” tanyaku lagi
“Hasil MSCT Scan menunjukkan begitu. Tetapi saya tidak bisa jamin 100% sebelum kami benar-benar membuka dada ibu. Yang bisa memastikannya kan hanya hasil pathology anatomy. Tetapi, jika tampak teksturnya ganas, tumor ibu hanya akan kami ambil sedikit, kemudian dada ibu akan kami tutup lagi, karena jika itu serupa cancer, maka penanganannya akan berbeda. Tapi jika itu adalah tumor jinak, maka kami usahakan untuk mengambil semuanya,” tuturnya panjang lebar.
Phuih! Ribuan peluru ditembakkan ke dadaku dalam waktu bersamaan tanpa henti. Temponya cepat. Setiap selongsongnya jatuh menyentuh tanah, memantulkan nada yang memekakkan telinga. Not tak beraturan layaknya bunyi instumen brass yang ditiupkan sekenanya sebelum tersusun indah menjadi sebuah aransemen music untuk parade marchingband. Bersahutan dengan tiupan saxophone dan trumpet si kembar The Doctors, memainkan musik jazz kontemporer yang tak aku mengerti sama sekali.
Aku limbung.........