Sabtu, 09 Agustus 2008

Octopus

Orang-orang berbaju biru toska itu lalu lalang kesana kemari. Sosok mereka seperti diikuti bayang-bayang serupa. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Yang jelas, aku merasakan sesuatu dalam tenggorokanku. Mencekikku. Glek! Aku tersedak.
Aku melihat ke sekelilingku. Nuansa biru toska makin menyelimutiku serupa halimun dataran tinggi yang turun di sore hari. Warna gordyn ini. Aku mengenalinya.
Rupanya aku telah siuman dari operasi besar untuk mengangkat tumor yang tumbuh di dalam jantungku. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri karena pengaruh anestesi. Aku mengira-ngira kini aku berada di mana. Pastinya ruang ICU seperti yang dijelaskan suster saat orientasi pra operasi.
Glek! Kali ini kembali aku tersedak! Weeek! Rupanya sebuah selang besar tertancap ke dalam mulut hingga tenggorokanku.
Tiba-tiba aku merasakan mual yang luar biasa. Aku ingin muntah se muntah-muntahnya. Bulk..bulk..bulk.. rasanya semua isi perutku ingin keluar. Tapi bukankah isi perutku sudah dikuras habis beberapa jam sebelum aku operasi? Aku juga puasa sehari penuh.
Dan tidak lama kemudian, aku benar-benar muntah. Aku seperti mesin permainan di sebuah casino tempat judi di Las Vegas. Hanya gara-gara dipancing sekeping koin, kemudian memuntahkan ratusan koin lain, karena pada saat bersamaan memunculkan tiga gambar yang serupa sambil membunyikan sirenennya. “Jackpot!”
Selang besar itu, rupanya alat bantu nafasku. Setiap aku bernafas, terdengar bunyi nafasku keluar dari serupa kantung udara kembang kempis di sampingku. Kantung itu kemungkinan besar alat pengganti paru-paruku.
Seorang perawat mengelap cairan kuning ke coklat-coklatan yang keluar dari mulutku. Seorang perawat berbaju toska yang lain menghampiriku. Dia membawa sebuah selang berdiameter kecil yang cukup panjang.
“Bu..isi lambungnya mau keluar semua tuch.. saya masukin selang ya..”katanya
Kurang dari satu detik, selang itu sudah masuk ke dalam hidungku, terus menjalar ke dalam kerongkonganku.
Glek! Terasa ujung selang terus masuk ke dalam tenggorokanku
“Telan ya bu.. telan…. Terus telan…” dua perawat di sampingku memberi instruksi bertubi-tubi.
Bulk..bulk..bulk.. kembali aku merasa mual. Dan beberapa detik kemudian, kulihat selang itu berubaqh warna menjadi kuning kecoklatan.
Tidak sampai di situ, aku melirik ke pundakku. Tiga buah selang kecil yang bermuara ke sebuah selang sedang lainnya tertancap di sebelah dada atas.
Ku angkat tanganku pun, kulihat selang-selang menempel di pergelangan dan siku.
Kuraba perutku. Ada selang juga menempel.
Sementara di dadaku tertempel empat lidah serupa double tape yang dicantoli kabel-kabel yang tersambung ke atas monitor di samping ranjangku.
Kini aku seperti gurita yang bertangan banyak. Persis musuh Spiderman. Aku membayangkan kini aku seperti Profesor yang berubah menjadi gurita sepraruh manusia musuh superhero Siperdman. Aku seperti Octopus…… dan aku kembali tak berdaya…

Saatnya Jadi Idola

“Kamu liat ga penampilan si Joko kemarin?”
“Memangnya dia menang?”
“Dapat duit berapa?”
“Hebat juga tuch dia. Ngetop donk”
Perbincangan sepotong-sepotong itu sekonyong-konyong terdengar di telingaku. Aku terbangun dari tidurku. Tapi mengapa aku tidak bisa membuka mataku? Badanku pun lemas sekali rasanya.
Oh, aku terkena eureup-eureup pikirku. Padahal sudah bertahun-tahun aku tidak mengalaminya lagi. Eureup-eureup adalah sebutuan ibuku buat keadaan di mana kita berada di antara antara dunia mimpi alam bawah sadar kita dengan dunia nyata. Tapi kita tidak bisa terbangun, karena ada sesuatu menindih kita.
“Itu akibatnya, kalau mau tidur tidak berdoa dulu!” kata ibuku waktu aku masih kecil dulu. Tapi ibuku tidak pernah menjelaskan dengan gamblang apa yang menindihku jika terkena eureup-eureup. Aku hanya mendapatkan keterangan berbau mistis dari teman-teman sepermainanku tentang gejala eureup-eureup ini.
Aku mencoba menyingkirkan sesuatu yang menindihku ini dari badanku.Biasanya dengan sedikit usaha dan konsentrasi, akan menghilang.Namun situasi kali ini amatlah berbeda. Aku tetap merasa lemas, tak berdaya, bahkan sedikitpun aku tidak bisa mengangkat kelopak mataku.
Apa ini? Di mana aku? Aku yakin masih ada di dunia nyata. Aku belum mati.
Suara dua orang yang sedang mengobrol tadi makin jelas di telingaku.
“Dapat hadiah berapa ya si Joko?
Di tv mana sich?
Koq aku ga liat?” suara perempuan bernada tanya
“Di RCTI. Nama acaranya Saatnya jadi Idola!” jawab si pemilik suara laki-laki. Pembicaraan santai itu makin dekat di telingaku.
“Astagfirullah….” Gumamku. Aku baru tersadar, aku baru saja melewati ujian paling berat dalam hidupku. Operasi jantung. Ya.. terakhir kali yang kuingat, sorotan lampu besar itu menyilaukanku. Lantas sejurus kemudian aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
Aku mencoba menggerakkan tanganku.
Tidak bisa.
Ya Allah… apa yang terjadi padaku? Inikah yang disebut orang-orang dengan koma? Untuk pertamakalinya aku merasakan ketakutan yang luar biasa.
Terakhir kali sebelum tindakan operasi dilakukan, aku berbicara dengan suamiku. Aku berpesan, jika setelah operasi aku mengalami koma dan tidak terbangun lagi, dan hanya bisa bernafas karena bantuan alat-alat, kemudian dokter memberikan pilihan pada keluarga untuk membiarkan keadaan ku seperti itu atau mengakhirinya, aku memohon agar pilihan yang kedua yang diambil oleh suamiku. Aku tak mau bernasib seperti artis sinetron Sukma Ayu yang menempatkan keluarga pada posisi makan buah simalakama. Aku rela. Aku ikhlas.
Tapi sesungguhnya aku tidak menyangka, jika rasanya akan begitu sedemikian mengerikan. Aku juga teringat seorang ustadz di majelis taklim pernah mengatakan, bahwa pendengaran lah yang terakhir dicabut oleh Malaikat Maut saat kematian menjemput.
“Bu.. bangun Bu! Operasinya sudah selesai!” bisik sebuah suara milik perempuan yang tadi terdengar berbincang.Plok! Plok! Plok! Terasa tamparan tangan bertubi-tubi mengarah ke pipiku. “Ya…ya..ya… aku mau bangun”, teriakku.Oh Tuhan! Tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Bibirku pun kelu!
“Bu… ibu dengar suara saya? Kalau ibu dengar, anggukan kepala ya Bu…” perintah suara itu lagi.
Aku mengangguk. Aku merasa telah mengangguk. “Gimana ini Dok?” suara perempuan itu terdengar lagi bertanya entah kepada siapa. Aku tak mampu melihatnya. Gelap.
Tiba-tiba sebuah sinar menyilaukanku. Mata sebuah lampu senter menyorotiku. Rupanya ada jari-jari tangan yang membuka kelopak mataku dengan paksa.
Tampak wajah laki-laki berkumis dan berbaju putih di hadapanku. Jari-jari di tangan kirinya terus memegang kelopak mataku. Sedangkan tangan kanannya terus digerak-gerakkan memegang lampu senter ke kiri, ke kanan, ke atas dan ke bawah.
Aku mencoba mengerakkan bola mataku mengikuti sorotan sinar cahaya itu.
Seolah aku ingin berteriak kepada laki-laki di hadapanku dan tiga orang lagi di belakangnya
“Hai…aku hidup. Aku sadar. Aku mendengar semua perkataan kalian! Tapi aku tidak bisa bergerak!
Hanya beberap detik saja. Jari tangan itu melepaskan lagi kelopak mataku.
Mataku terpejam lagi. Gelap lagi.
“Ya sudah… tranfusi aja” perintah sebuah suara laki-laki dengan nada berat.
“Berapa labu dok?” tanya suara yang perempuan yang lain.
“Dua labu saja”, terdengar lagi suara pemberi perintah.
Dan, semuanya kembali gelap.Aku kembali tertidur dan bermimpi bertemu Joko si perawat yang kini menjadi idola….

Jumat, 08 Agustus 2008

BAND TITANIC

Duk! Duk! Duk! Bunyi dengan tempo konstan itu makin lama makin jelas di telinga serupa palu godam yang dipukul-pukulkan ke kepalaku. Tawa cekikik riang suster-suster yang tuntas bertugas, seperti sengaja meledek aku yang sudah tak mungkin lagi tertawa. Sayup-sayup suara nyaring perempuan mirip Rossa melantunkan Ayat-ayat cinta bagiku terasa menyayat-nyayat lubuk hati. “……….pengorbanan cinta yang agung, kupersembahkan……”
Kantuk ini sudah menyerang. Tapi sedikitpun aku tidak bisa memejamkan mata. Sudah pukul 10 malam. Aku tak habis pikir, di sebuah ruangan kelas satu, gedung baru rumah sakit rujukan terbesar di Bandung, pasien yang seharusnya bisa tenang untuk istirahat, malahan diganggu dengan keributan yang tak perlu terjadi.
Duk! Duk! Duk! Suara itu terdengar lagi, bersahut-sahutan persis perkusi mengiringi alunan original sound track film yang katanya fenomenal tapi tak sempat aku tonton karena keburu sakit. Kedengarannya Rossa palsu itu sedang latihan untuk sebuah pementasan. Usai sampai ending lagu itu, kembali intro di awal lagu diperdengarkan.
Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku. Kuraih tombol bel yang menempel di atas sandaran ranjangku. “Sebenarnya fungsi bel ini apa sich? Bukankah diperuntukkan sebagai panggilan darurat jika pasien membutuhkan pertolongan perawat? Tapi kenapa tidak ada kabel yang menyambung supaya pasien tidak bersusah payah harus bangun hanya untuk memencetnya? “ aku bergumam sendiri. “Semprul nich orang yang bikin!” gerutu aku lagi.
“tit…tit..tit…tit..tit… sudah lima kali bunyi “tit” itu terdengar. Tapi tak ada langkah sepatu suster datang ke kamarku. Ku pijit lagi untuk yang kedua kalinya. Bunyi "tit" itu sayup-sayup terdengar lagi. Sampai 10 kali. Satu, dua, tepat dihitungan ke tiga, muncullah perempuan muda cantik berkerudung putih membuka tirai yang membatasi tempat tidurku dengan ranjang di sebelahnya.
“Kenapa bu….?” Tanyanya sedikit jutek.
“Suster, apakah ini cuma khayalanku? Atau suster juga mendengarnya? ada pertunjukkan band di gedung ini”, kataku dengan nafas naik turun.
Tidak ada jawaban. Suster itu hanya diam sambil mengernyitkan kening dan memicingkan matanya. Mencoba mencari sumber suara yang aku maksudkan. Kemudian dia memonyongkan mulutnya.
Aku mencoba menebak-nebak ekspresi si suster. Pikirnya aku ini cuma menyusahkan dia yang baru saja aplusan dengan teman-temannya yang kini sudah dengan damai pulang menuju rumah masing-masing.
“Bukan apa-apa bu…, itu suara residen yang lagi latihan nyanyi. Besok bakal ada acara brevet. Ibu tidur ya…!” katanya mencoba menenangkanku.
“Brengsek!” sungut aku. Sementara pasien-pasien sedang berjuang hanya untuk sekedar tidur, dokter-dokter calon spesialis itu bernyanyi-nyanyi ria bersiap-siap merayakan kesuksesan teman mereka yang bakal dianugerahi gelar baru di belakang gelar selama ini. Gelar baru itu lah yang akan menambah jauh lebih banyak pundi-pundi mereka. Sales-sales obat utusan perusahaan farmasi bakal makin rajin mengejar-ngejar mereka. Menawarkan produk terbaru, memberikan goody bag yang isinya bolpen, pensil, penggaris, buku memo, atau alat tulis lain dengan sablonan merk obat. Atau detailer obat yang kini rada naik pangkat dengan istilah medical representative itu bakal menawarkan sebuah acara presentasi pada saat makan siang atau malam di sebuah restoran terkenal. Bahkan bonus spesial ibarat hidangan utama berupa mobil atau liburan ke luar negeri dengan dalih konfrensi kesehatan internasional yang tidak lain ujung-ujungnya cuma dagang obat baru.
“Kalau suara duk duk itu apa sus?” tanyaku lagi
“Oh… itu suara tukang lagi benerin kamar sebelah’, jawabnya enteng.
“Gila!” pikirku. Kubiarkan suster itu ngeloyor dari pandanganku.
Tiba-tiba aku teringat suamiku pastinya kini sedang duduk melamun memandang kaca jendela yang gelap di dalam kereta api dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Memikirkan darimana dia mencari uang sebesar 60 juta untuk membayar operasi bedah jantung terbuka isterinya .
Ya..tadi pagi-pagi sekali dia sudah pergi ke sebuah rumah sakit di bilangan Slipi menjajaki rencana kepindahanku untuk dirawat di sana. Mudah-mudahan dia membawa kabar baik. Aku sudak mantap untuk meninggalkan rumah sakit tempat aku dirawat sekarang. Aku merasakan suasana yang mencekam di sini. Genap sepuluh hari sudah aku terbaring di sini. Tapi aku merasa sedang terperangkap di salah satu kabin mewah kapal raksasa Titanic yang terombang-ambing di tengah lautan dan sebentar lagi karam karena baru saja menabrak gunung es.
Nafasku semakin berat. Aku beranjak lagi. Tanganku meraih regulator tabung oksigen. Kuraih juga selang yang melingkar-lingkar di atasnya. Pelan-pelan kucolokkan dua lubangnya di kedua lubang hidungku. Kuhirup dalam-dalam aliran udara yang bergerak dan membuat bulu hidungku menari-nari kegelian.
……Maafkan bila ku tak sempurna….Cinta ini tak mungkin ku cegah…. Duk! Duk! Duk!
Suara serak-serak basah penyanyi karbitan dan pukulan palu yang tiada henti makin memekakkan telinga. Aku mencoba menikmatinya. Semakin aku dengarkan, pikiranku semakin melayang. Teringat penggesek biola dan cello yang memainkan melodi di tengah kepanikan penumpang kapal sampai Titanic tenggelam…..

Baby Hueey

Dua jarum jam itu telah membentuk siku-siku yang sempurna. Langkah suaranya semakin jelas terdengar seirama dengan detak jantungku yang lambat. Nuansa pink serupa pertengahan februari di kamar itu tidak mampu melegakan nafasku. Tetap saja pengap bahkan terasa semakin menyesakkan dada. Tidak! bukan ruangan ini yang semakin sempit. Tapi helaan nafasku yang semakin berat.
Siang tadi petir menyambar tepat di ubun-ubunku. Ujungrambut sampai ujung kakiku hangus dibuatnya. Asapnya masih terasa hingga kini. Panas masih saja membakar tiap jengkal kulitku.
Ach... berlebihan! bukankah pernyataan dokter itu yang aku harapkan sejak kemarin?. "Aku butuh kejelasan!. penyakit apa yang menimpa aku!" kataku pada suami yang setia menungguiku sejak minggu lalu.
Bukankah seharusnya aku bersyukur, akhirnya dokter mengetahui apa yang membuat aku tiba-tiba kehilangan keseimbanganku, bahkan tak mampu berdiri, berjalan, atau sekedar membungkuk untuk rukuk? Bukankah itu yang membuat aku harus menghabiskan libur panjang pertama di tahun ini hanya dengan berbaring? Bukankah itu juga yang membuat aku kembali seperti Baby Hueey si bayi raksasa dalam film kartun casper and friends? Aku harus memakai popok.
Ya... aku tadi sempat mengucap Alhamdulillah. Saat dokter menunjukkan gambar jantungku lewat monitor komputer dan memperdengarkan suara detak jantung beserta aliran darahku dalam pembuluh.
"Ibu dosen ya? mengajar di Unpad? Fakultas apa?" awalnya obrolan dengan dokter itu begitu menyenangkan.
Tapi tiba-tiba semuanya terasa gelap. Saat nada suara berwibawa itu berubah menjadi teror buatku.
"Ibu lihat ke layar bu. Ini jantung ibu. Coba Ibu perhatikan benda bulat yang bergerak-gerak ini. Ini seharusnya tidak ada di jantung Ibu." katanya datar.
"Apa dok?" tanyaku dengan nafas tersengal-sengal
"Ini daging jadi Bu." katanya mantap
Aku terdiam.
"Jadi ini yang bikin Ibu sesak. Yang Ibu rasakan perut seperti ditarik ke atas, itu namanya sesak Bu,' jelasnya lagi
Ach.. pikirku. mana kutahu itu sesak. Seumur hidupku aku baru merasakannya.
"Tumor ini mobile. Dia bergerak-gerak ke sana ke mari, dokter itu menunjukkan titik-titik gambar jantungku.
"Jadi, saat ibu duduk atau berdiri dia mengikuti gaya gravitasi dan menutup saluran darah dari jantung ke paru-paru.Tetapi saat ibu berbaring, tumor ini juga ikut berbaring. saya perkirakan dia mempunya tangkai" jelasnya lagi panjang lebar.
"Jadi.. tindakannya bagaimana dok? harus diangkat?" tanyaku cemas
"yup! tidak ada cara lain. harus diangkat" ujarnya
"Operasi dok? tanyaku lagi semakin gelisah
"Ya... " jawabnya lirih
"Tidak ada cara lain?" aku mencoba sejenak berharap .
Dokter itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Bedah dok?" suaraku tercekat di tenggorokan.
"Bedah jantung terbuka" katanya mencoba menunjukkan wajah yang biasa-biasa saja agar pasiennya ini tidak perlu khawatir.
Kontan, aku merasakan pisau bedah telah menghujam ke jantung ku sedemikian dini....

Julukan itu....

"Halo Bu.. sekarang gimana kerasanya, udah gak sesak lagi kan?" dokter jantung ramah itu bertanya padaku.
"Amazing!" sorakku dalam hati.
Tapi yang keluar dari mulutku hanya kalimat pelan "Alhamdulillah..". dan mungkin hampir tak terdengar di telinga si dokter. Tapi bukankah dia sudah mencolokkan stetoskop di kupingnya dari tadi?
Whuih! efek obat bius itu masih saja bikin aku teler bukan kepalang. Padahal hari itu adalah hari ke tiga sejak dadaku dibelah. Beruntung aku sudah dipindahkan di ruang intermediate bersama pasien pasca operasi lain yang kondisinya sudah membaik. Tidak seperti di ruang ICU yang bikin aku tegang karena setiap malam ada saja pasien yang berteriak-teriak gelisah atau kesakitan.. entah. Yang aku rasakan hanya aku seperti melayang. Mungkin kah ini yang disebut fly dambaan para pemakai narkoba? mungkin..
"Ibu sudah liat apa yang kami ambil dari jantung Ibu?" tanya dokter itu lagi.
Belum sempat aku menjawab, dokter itu sudah memberondong aku dengan cerita jalannya operasi yang masih terasa baru saja aku lewati.
"Kami menyebutnya SOSIS BANDUNG!" ujarnya lagi sambil tersenyum lebar.
Senyum dokter itu bagiku adalah senyum yang penuh misteri.
Sontak julukan itu mengaduk-aduk perasaanku. Bahkan tim dokter di rumah sakit jantung nasional ini menganugerahkan sebuah nama pada benda asing yang tumbuh dan hidup dalam organ paling vitalku.
Aku sendiri belum pernah melihat tumor itu dengan mata kepalaku sendiri. Beberapa menit setelah aku siuman dari operasi, kakak sulungku memperlihatkan foto tangan suamiku yang tengah memegang seonggok daging sepanjang 28 cm dengan berat yang aku perkirakan hampir menyentuh 1/2 kilogram.
Mana mungkin cumi-cumi basah itu ada di dalam rongga jantungku? Aku sendiri begitu jijik melihatnya. Bahkan aku mengingatnya seperti makhluk luar angkasa alias alien yang baru saja dikeluarkan dari cangkang dan kemudian direndam dengan cairan khusus pengawet dalam botol-botol raksasa di sebuah laboratorium milik NASSA.
"Bisa jadi bukan myxoma seperti yang kita perkirakan. Belum pernah kami mengangkat tumor sebesar itu. Sekarang kami sedang menunggu hasil PA nya Bu. Kita berdoa saja mudah-mudahan jinak ", dokter itu memberikan penjelasan panjang lebar.
"Ibu tunggu saja...dalam waktu dekat kasus Ibu ini akan muncul dalam jurnal kedokteran kardiologi internasional,"
Muncul dalam jurnal internasional?
Aku tidak tahu reaksiku harus bagaimana.
Apa yang harus aku banggakan?
Sekali-kalinya muncul dalam jurnal internasional...
karna SOSIS BANDUNG....