Jumat, 29 Oktober 2010

MABUK NUKLIR

Empat tahun lalu, di sebuah seminar kedokteran, aku menyaksikan presentasi seorang dokter spesialis radiologi FK Unpad yang sedang menjajaki proyek kerjasama dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional atau BATAN untuk menghasilkan contrast agent, serupa zat yang digunakan untuk meningkatkan kontras struktur atau cairan dalam tubuh dalam pencitraan medis.

Perhatikanku biasa-biasa saja pada seminar kesehatan seperti itu layaknya liputan kesehatan biasa. Kerjaku sebagai Public Relation, wartawan dan pengelola media FK Unpad hanya terbatas pada meliput kegiatan tersebut dan menerbitkannya dalam portal berita dan majalah bulanan " wartaefka".

Namun saat itu aku sempat berdecak kagum pada penelitian yang dipresentasikan, walau sebenarnya aku hanya mampu mengerti sepotong-potong. Yang jelas, proyek itudibiayai program hibah bersaing yang nilainya milyaran rupiah. Proyek itu punya niat mulia. Tujuannya agar biaya observasi penunjang diagnose oleh dokter melalui MS CTscan dan MRI yang ditanggung pasien tidak terlampau mahal.


Seperti awam tahu, selain ongkos membayar para ahli, pembelian dan pemeliharaan alat-alat canggih buatan luar, ternyata tingginya biaya yang harus dibayar pasien dalam pindai memindai tubuh ini, berkaitan dengan contrast agent yang harganya cukup mahal. Mahalnya harga contrast agent diakibatkan zat tersebut hingga saat itu belum bisa diproduksi di dalam negeri. Nah, dengan penelitian ini, diharapkan nantinya contrast agent dapat diproduksi oleh BATAN denga harga yang jauh lebih murah.


Tapi sungguh! Aku tak menyangka. Jika kini zat yang namanya contrast agent itu akan mengalir juga di dalam tubuhku. Tidak tanggung-tanggung 3 kali aku merasakan cairan nuklir itu menjalar ke seluruh tubuh. Dua kali disuntikkan ke dalam pembuluh darahku lewat jarum dan selang infuse. Satu kali lagi cairan nuklir itu harus aku tenggak. Empat gelas besar sekali minum.


Jangan tanya bagaimana rasanya. Saat cairan itu sedikit demi sedikit menjalar ke seluruh tubuh. Ada rasa hangat seperti minum air teh di sore hari. Tapi sejurus kemudian, cairan nuklir itu serasa mengaduk-ngaduk perutku. Kepalaku pusing. Perasaan mual dan ingin muntah menyelimutiku.


Ya, CTScan jantung, abdomen dan pembuluh vena. Tidak ada satu pun yang lebih baik dari ketiganya. Semuanya bikin aku sempoyongan! Mabuk nuklir!!


Sempat terpikir olehku, efek samping zat itu ke dalam fungsi tubuhku yang lain. Belum lagi efek penyinaran foto itu buatku. Melihat alatnya saja pertama kali bikin aku merinding. Mesin berterowongan itu belum apa-apa sudah membuat aku lemas. Beberapa menit sebelum alat itu memindai tubuhku, mesinnya harus dipanaskan dulu. Mendengar deru mesinnya saja, dadaku ngilu dibuatnya. Aku merasa mendengar putaran gurinda yang siap mengasah.


Aku harus berbaring di tempat tidur panjang yang pelan-pelan keluar masuk terowongan jika mesinnya digerakkan. Kemudian dinding terowongan itu berputar mengelilingiku. Aku harus menarik dan mengeluarkan nafas sesuai perintah dokter atau instruksi gambar yang menempel di langit-langit terowongan.


Dan yang paling menyeramkan, saat cairan nuklir itu disuntikkan ke dalam tubuhku. Uratku seperti dicubit melilit. Sakit. Aku merasa seperti dokter gila dalam film Hollowman yang diperankan Kevin Bacon. Saat cairan itu mengalir ke dalam reliku pembuluh darahku. Lama-lama aku seperti melayang. Hanya tidak transparan seperti dalam special effect dalam film itu.


Tapi aku harus menjalani. Demi cairan nuklir itu bisa berpendar bercahaya, dan menghasilkan gambar. Foto-foto itu dibutuhkan dokter jantung dan dokter bedah untuk mengambil tindakan yang tepat. Dokter tidak mau berjudi mengambil tindakan tanpa rekomendasi yang tepat.Tidak ada bedanya rupanya kerja dokter dengan wartawan sepertiku. Semuanya harus Evidence Based.

Sementara aku terbaring, dokter-dokter itu mengamati isi badanku lewat monitor besar yang terpasang di ruang sebelah tempat aku dipindai. Mereka berdiskusi. Mengaguk-anggukkan kepala. Kemudian mencetak hasil fotonya, menulis lembar konklusi, untuk diserahkan kembali ke dokter jantungku.

Wuih.. Aku merasa jadi kelinci percobaan dalam kotak kaca. Atau tikus putih dalam labirin yang kebingungan mencari jalan keluar. Diamati dan dicatat setiap reaksi dan pergerakannya dalam sebuah laboratorium.

Ya, empat tahun sejak penelitian contrast agent yang aku liput dalam seminar dulu. Aku tidak sempat mengetahui perkembangan penelitian itu berhasil atau tidaknya. Apakah contrast agent yang disuntikkan dalam pembuluh darahku adalah contrast agent yang murah meriah, buatan Indonesia? Atau masih diimpor karena buatan luar??

Yang jelas , tiga juta rupiah untuk sekali pindai masih saja terasa mahal buat pasien seperti aku atau pasien manapun di Indonesia. Tiga Juta rupiah hanya untuk sekedar mabuk nuklir. Mabuk termahal di dunia untuk minuman dan cairan yang tidak akan pernah ditemukan di Bar, Pub atau CafĂ© mana pun….

Senin, 18 Oktober 2010

Nista Maja Utama

“Gwe gak punya nasehat buat lo! Kalo gwe di posisi lo, gwe juga gak tau mesti gimana . Gwe cuma bisa berdoa!,” begitu salah satu pesan sahabatku saaat menengokku di rumah.
Pesan serupa tapi tak sama datang dari sahabat dan teman-temanku yang lain. Mereka satu persatu atau bergerombol datang menjengukku dan mencoba menghiburku dengan cara mereka masing-masing. Sejak kemarin ponsel ku terus berbunyi. Telepon dan sms puluhan kali aku terima. Wall dan message box di FB ku pun penuh. Isi nya sama. Mereka berdoa buat aku.
Setiap kali mendengar dan membaca pesan dari mereka, air mataku selalu tumpah ruah tak bisa kutahan. Kadang aku bisa menangis sejadi-jadinya. Semalaman. Suamiku biasanya akan berusaha menenangkanku. Entah kali keberapa pundaknya ikut basah menjadi kolam tampung tangisanku.
Banyak sekali orang yang menyayangiku….. jeritku dalam hati.
Siang tadi kakak-kakakku datang menengok. Mereka mencoba menunjukkan wajah ceria. Tapi aku tahu mata mereka berbicara. Bening kaca-kaca bergelayut di kantung mata mereka. Untuk ketiga kalinya mereka mencoba tidak menunjukkan ekspresi yang sebenarnya. Mereka ingin aku setegar baja.
Ibuku tak datang. Meski hati ini menginginkan kehadirannya. Tapi hati kecil ingin pula mengingkarinya. Mamah tak usah datang sekarang. Aku tak kuat membagi kisah ini lagi denganmu. Bagiku cukup doa-doa di setiap usai shalatmu. Cukup sudah linangan bulir air matamu di setiap tahajudmu. Jika waktunya tiba. Pasti aku akan meminta mamah hadir di sampingku.
Untuk ketiga kalinya aku akan menjalani operasi pengangkatan tumor di dalam tubuhku. Untuk ketiga kalinya mereka mendukung aku agar aku tetap optimis dan semangat.
Tapi sayangnya untuk ketiga kalinya juga aku harus menerima kenyataan. Pada akhirnya aku harus menghadapinya hanya dengan sendirian. Tanpa sahabatku, tanpa teman-temanku, tanpa saudara-saudaraku, tanpa suamiku bahkan tanpa ibu yang melahirkan aku.
Bayangan hitam itu kini kerap datang lagi dalam mimpi-mimpiku. Aku akan menghadapi masa kritis dan ketidakpastian yang sama. Atmosphere yang sama. Kabut gelap yang sama. Baunya sudah sampai ke hidung, terhirup ke tenggorokan, menyelinap ke paru-paru ku. Sesakku berlipatganda dibuatnya.
Pisau bedah itu sebentar lagi akan menancap. Tepat di luka parut yang sama. Luka yang tak bisa kuhapus hingga kini. Luka parut yang membujur tepat di tengah tubuhku seumpama garis khayal meridian utama yang mempertemukan kutub utara dan selatan di permukaan bola dunia. Sekilas nampak resleting jepang merk YKK di jaket daging dan kulitku. Sekali tarik saja akan membuka kantung yang dua tahun lalu telah ditutup.
Namun kantung itu pastinya isinya tak lagi sama seperti saat pertama kali dibuka. Kawat-kawat penyambung itu masih ada. Membentuk angka 8 berderet dan melingkar-lingkar di antara tulang iga penyangga dada.Sengaja teralis itu pernah digergaji paksa, agar isi di baliknya bisa terurai burai. Karena makhluk asing itu bersarang di dalamnya.
Untuk ketiga kalinya aku akan menghadapi masa-masa tersulit dalam hidupku. Pasca operasi yang harus aku jalani. Saat jiwa tersadar, namun badan hanya teronggok tak punya daya.
Untuk ketiga kalinya… Nista Maja Utama.
Ach..peribahasa Sunda itu tak kukira akan terngiang-ngiang ditelingaku akhir-akhir ini. Tiga rangkaian kejadian , berlangsung berturut-turut. Aku mencoba meyakinkan diriku. Ini bukan sumpah serapah. Dimulai dengan Nista yang tidak mengenakkkan, Maja yang rasanya pahit, dan yang terakhir adalah Utama. Aku mencoba menepis, Utama bukanlah berarti terakhir dan selamanya.
Aku mencoba mengorek dan berdialog dengan diriku sendiri. Terakhir.. Ini harus jadi operasi yang terakhir buatku. Operasi yang akan berhasil dan menyembuhkanku. Walau pernah terbersit pertanyaan dalam benakku, menghantuiku, pertanyaan yang jawabannya tak seorang pun tahu. Tuhan pernah memberikan kesempatan kedua buatku. Lalu masih adakah lagi kesempatan ketiga…….???

Minggu, 17 Oktober 2010

JAZZ KEMPES

Ting!…Ting!…. Suara metronome itu konstan memberikan ketukan dengan tempo legato. Rupanya seperti biasa, aku selalu saja ketiduran setiap suamiku anteng berkutat dengan lagu baru yang akan dia gubah ulang. Beberapa tahun terakhir ini software encore menjadi isteri ke dua nya setelah aku. Lagu apa saja mulai pop, rok, jazz, sampai dangdut pun bisa dia gubah sampai kadang berubah jauh dari aslinya. Biasanya dia akan mencari chord asli lagu yang akan dia gubah. Kemudian jari jemarinya akan dengan lincah menekan papan tuts laptop, mencantolkan satu persatu nada dari melodinya ke dalam kelompok garis-garis yang tersusun rapi. Bulir-bulir not itu ibarat buah yang tangkainya dieratkan lagi ke dahan setelah dipetik. Lima garis paranada yang tertera di layar komputer adalah pohonnya.
Sebelum berubah menjadi sebuah harmoni indah serupa orchestra, nada-nada itu akan berbunyi berulang-ulang tak beraturan dan kadang membuat pusing siapa pun yang mendengarnya. Belum lagi nada-nada itu keluar dengan suara yang berbeda-beda tergantung jenis instrument yang akan dipakainya. Suara trumpet, fluegle, melophone, trombone, baritone dan bas tuba muncul silih berganti. Tidak sampai di situ, petikan gitar sebagai salah satu alat musik yang dikuasainya , ikut meramaikan suasana kamar kami. Biasanya begitulah cara dia menentukan running-running chord sesuai kuncinya.
Tapi kali ini ada yang berbeda. Tidak terdengar nada-nada itu. Kamarku tidak seramai biasanya. Bahkan setengah hening.Yang terdengar hanya suara metronome yang terus berulang dengan tempo yang sama.Dengan mata setengah terpejam, aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah suamiku terlampau lelah, sehingga tertidur di kursi kerjanya ?
“Suster! Segera panggil suaminya!” tiba-tiba sebuah teriakan mengagetkanku.
Aku bingung, mengapa ada suara laki-laki itu ? Siapa dia? Aku berusaha membuka mataku. Berat.
Aku di mana ? tanyaku dalam hati
Aku menoleh ke samping. Pandanganku tidak jelas. Aku tak memakai kacamata.
Terdengar langkah sepatu karet terburu-buru menghampiriku.
“Pak.. kami minta Bapa tandatangan sekali lagi. Kami butuh persetujuan tindakan segera,” suara laki-laki itu terdengar lagi.
Di tengah kebingunganku, aku melihat siluet seseorang..Bentuk wajah itu. Ya.. aku sangat mengenalinya. Bentuk wajah yang akrab buatku. Wajah itu sering terbenam di dadaku. Wajah itu milik seseorang yang dua belas tahun lamanya menemaniku. Suamiku ada di sana. Dibalik tirai.
Suster ? Tindakan ? Mendadak aku tersadar. Aku masih di sini. Terkapar di atas tempat tidur di kamar ini. Ach…aku masih di ruang ICU. Suara tadi suara dokter yang menjagaku. Sejak kemarin entah berapa orang dokter dan suster yang giliran menungguiku, menjagaku, mengawasiku. Mata mereka tak lepas memperhatikan. “I See You” persis sekali nama ruangan ini dengan perlakuan mereka.
“Paru-paru ibu kempes. Sebelah kanan. Kami akan buat lubang di samping payudara ibu di bawah ketiak. Selang akan kami masukan ke sela-sela tulang rusuk ibu. Paru-paru nya butuh ditiup lagi.” Penuturan itu jelas di telingaku.
Kempes ?? Memangnya paru-paru ku ban motor atau mobil ?? aku bersungut dalam hati. Kulihat bayangan suamiku menerima sodoran bolpen dan selembar kertas. Ia menandatanganinya.
Untuk kesekian kalinya, suamiku menandatangani surat persetujuan tindakan atau medical informed consent . Pastinya tak terbayang sebelumnya oleh dia, janji sehidup semati dia padaku selama enam tahun pacaran plus enam tahun menikah, akan termasuk di dalamnya menandatangani selembar kertas yang menghalalkan apapun tindakan dokter pada isterinya, yang menentukan hidup atau mati.
Andai saja paru-paru ku seperti sebuah trumpet Shelmer Bach. Tak perlu dokter itu turut campur. Suamiku pasti menjadi orang pertama yang meniupnya. Sebelum menjadi pelatih dan arranger marching band, suamiku adalah peniup trumpet handal. Prestasinya sebagai solois horn line sudah me-nasional. Sempat dia dijuluki “the compressor” saking nafasnya tiada pernah habis meniupkan nada sampai lebih tiga oktaf. Kisah cinta kami pun dulu dimulai di lingkungan yang sama. Kami sama-sama peniup trumpet semasa kuliah dulu.
Aku teringat beberapa waktu sebelumnya saat vonis itu datang. Sejak aku mengeluhkan sering sesak dan jatuh pingsan. Dokter bedah jantungku datang menghampiriku. Memaparkan dengan hati-hati. Walau artikulasinya agak cadel, dia menjelaskan hasil observasi dan pemeriksaan nuklir pada paru-paruku.
“Ibu, selama ini ibu hidup hanya dengan sebelah paru-paru. Paru-paru ibu bekerja, tapi tidak terjadi pertukaran udara. Jika hanya dengan foto rontgen, gejala itu tidak terlihat”, tuturnya jelas.
“Ini hasil observasi kami pada paru-paru ibu. Ibu lihat, paru-paru yang kiri tampak terang. Sedangkan paru-paru kanan ibu tampak gelap lebih dari separuh”, logat Jerman nya nampak jelas menandakan ia menghabiskan masa kuliahnya di daratan Eropa sana.
Sejenak aku termenung memperhatikan BJ Habibie muda ini. Bukan karena aku ke-geer-an karena salah satu personil band The Doctors itu berhadapan denganku. Bukan karena kekagumanku atas permainan saxophone nya di ajang Java Jazz beberapa bulan sebelumnya. Bukan.
“Selama ini ibu tidak merasakan gejala apa-apa? “ tanya nya menyelidik.
Aku tak menjawab.Mana mungkin selama ini aku hidup hanya dengan sebelah paru-paru ?
“Aku ini mantan pemain trumpet . Sama seperti kembaranmu yang dokter spesialis jantung itu!” Teriakku padanya dalam hati.
Bedanya kalian berdua bermain di ajang internasional seperti Jak Jazz. Sedangkan aku hanya pemain trumpet kelas marching band. Marching Band mahasiswa lagi! Sungutku lagi, tetap dalam hati.
“Ibu olahraganya apa?” tanya nya lagi terus menelisik.
“Saya berenang dok. Bulan lalu saya pingsan saat bangkit dari kolam renang. Tapi anehnya saat berenang saya tidak merasakan apa-apa” jelasku.
“Ya..tumor di jantung ibu kan sifatnya mobile. Dia bergerak sesuai posisi ibu. Saat berenang, posisi Ibu kan horizontal. Seperti saat ibu tidur sekarang. Ibu tidak sesak kan? Tanya nya lagi. Sedangkan saat posisi vertical, tumor itu menghalangi jalan darah ibu ke paru-paru,” jelasnya lagi.
Aku masih terheran-heran. Bagaimana aku bisa bertahan selama ini?
“Tapi tak masalah. Ada beberapa orang di dunia ini yang hidup dengan sebelah paru-paru koq Bu,”katanya mencoba menenangkan aku. “Tapi tidak boleh terlalu cape, harus mengurangi aktivitas.
“Jadi, tidak ada cara lain, dada Ibu harus dibuka. Selain kita ambil tumornya, thrombus atau bekuan darah yang ada di paru-paru Ibu sebisa mungkin kita akan bersihkan. Kami akan usahakan agar paru-paru Ibu bisa bekerja lagi seperti semula.
Weks! Penjelasan gamblang itu tak mampu mengubah perasaan dalam hatiku. Tetap saja dadaku harus dibelek!
“Kemungkinan nya gimana dok?” tanyaku pelan
“Ya.. ini tindakan dengan resiko besar. Tapi tingkat keberhasilannya pun besar. Tidak masalah.” Katanya lagi.
Tidak masalah dengkulmu!! Aku menggerutu lagi dalam hati
“Tapi tumor itu jinak kan dok?” tanyaku lagi
“Hasil MSCT Scan menunjukkan begitu. Tetapi saya tidak bisa jamin 100% sebelum kami benar-benar membuka dada ibu. Yang bisa memastikannya kan hanya hasil pathology anatomy. Tetapi, jika tampak teksturnya ganas, tumor ibu hanya akan kami ambil sedikit, kemudian dada ibu akan kami tutup lagi, karena jika itu serupa cancer, maka penanganannya akan berbeda. Tapi jika itu adalah tumor jinak, maka kami usahakan untuk mengambil semuanya,” tuturnya panjang lebar.
Phuih! Ribuan peluru ditembakkan ke dadaku dalam waktu bersamaan tanpa henti. Temponya cepat. Setiap selongsongnya jatuh menyentuh tanah, memantulkan nada yang memekakkan telinga. Not tak beraturan layaknya bunyi instumen brass yang ditiupkan sekenanya sebelum tersusun indah menjadi sebuah aransemen music untuk parade marchingband. Bersahutan dengan tiupan saxophone dan trumpet si kembar The Doctors, memainkan musik jazz kontemporer yang tak aku mengerti sama sekali.
Aku limbung.........

Kamis, 21 Januari 2010

ASKES

"Bu Yesi, ini kartu askes nya sudah selesai, bisa langsung ibu pakai, tapi saya doakan, mudah-mudahan ibu tidak akan pernah menggunakannya, “ demikian yang dikatakan Bu Hanna tahun 2006 lalu kepadaku.

Pesan petugas di Bagian kepegawaian Fikom Unpad saat itu mungkin tidak berarti apa-apa bagiku. Tapi kini, aku baru mengerti dan paham maknanya. Ya, seharusnya aku mengamini ucapan serupa doa tulus itu.

Fasilitas askes mungkin sangat didambakan jutaan orang di Indonesia. Bagaimana tidak.Fasilitas kesehatan menjelma bak intan berlian yang sangat berharga di tengah situasi ekonomi seperti sekarang yang serba sulit. Siapa yang tidak ingin mendapatkan semua pelayanan kesehatan seperti yang tertera di kartu askes? Ah.. rugi rasanya pikirku jika aku tidak memanfaatkannya semaksimal mungkin.

Namun ternyata bagi PNS Golongan III/a sepertiku, memanfaatkan fasilitas askes tidaklah semudah yang dibayangkan. Walau pada akhirnya aku menemukan pelayanan askes yang serba prima di RS Pusat Jantung Harapan Kita, namun aku harus melewati perjalanan panjang nan berliku yang hampir membuatku putus asa saat dirawat di RS negeri rujukan terbesar di kota Bandung. Mulai harus melewati birokrasi yang berbelit-belit , perlakuan diskriminatif , sampai stres berat karena teror para petugas yang jauh dari profesional bahkan tidak berprikemanusiaan.

Kejadiannya berlangsung di awal tahun 2008 silam. Peristiwa yang luar biasa dalam hidupku. Aku menjalani operasi bedah jantung terbuka untuk mengeluarkan tumor yang tumbuh di organ jantungku. Beruntung sampai saat ini aku masih hidup. Karena Tuhan memberikan pertolongan dengan cara-Nya.
Awalnya saat berdiri di depan kelas , aku merasakan pusing luar biasa yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Kakiku lemas, mata berkunang-kunang dan sejurus kemudian gelap gulita. Aku pingsan di hadapan para mahasiswa yang sedang serius memperhatikan slide materi kuliah yang aku ajar. Esok harinya aku merasakan hal yang sama setiap rukuk dan sujud saat sholat. Dua hari kemudian aku merasakan kelelahan luar biasa saat berjalan menapaki anak tangga menuju lantai tiga gedung kuliah. Bahkan seminggu kemudian aku hampir pingsan saat beranjak dari kolam renang tempat aku biasa berolahraga.

Beberapa hari kemudian setelah di awal Februari usai merayakan ulang tahun perkawinan kami yang ke lima, di antar suami, aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Merasa memiliki fasilitas askes, aku mendatangi Puskesmas Pasirkaliki Bandung, Puskesmas terdekat dengan rumahku. Saat itu pula adalah kail pertama aku mempergunakan fasilitas akes ku. Ternyata mendapatkan fasilitas pemeriksaan secara gratis di Puskesmas tidak membuatku puas. Pemeriksaan oleh dokter yang hanya berlangsung kurang dari 5 menit terasa terlalu singkat dibandingkan dengan lamanya mengantri di jendela pendaftaran atau menunggu hampir lebh 2 jam hanya untuk mendapatkan giliran diperiksa. Lebih singkat lagi bagiku yang sebenarnya mempunyai banyak keluhan yang ingin disampaikan pada dokter. Saat itu dokter hanya mengukur tekanan darahku, memberikan obat gratis yang bisa diambil di loket obat dan tidak memberikan rujukan apapun padaku untuk melakukan tes kesehatan yang lain.

Karena tidak kunjung membaik, tiga hari kemudian, aku memutuskan untuk datang dan meminta surat rujukan ke rumah sakit. Dokter yang memeriksaku menolak memberi rujukan, dengan alasan kondisiku masih memungkinkan untuk diobati di puskesmas. Padahal, hari itu aku datang menghadapnya sambil terhuyung-huyung dan nafas yang mulai tersengal-sengal. Karena aku terus memaksa, akhirnya dokter itu memberikan surat rujukan kepadaku untuk periksa di RS rujukan terbesar di Jawa Barat.

Tidak menyianyiakan waktu, setelah mendapatkan surat rujukan, aku langsung menuju klinik rawat jalan di RS itu. Aku sempat tercengang saat melihat antrian yang begitu panjang di depan loket pendaftaran yang memanjang dengan belasan jendela petugas. Ratusan orang hilir mudik dengan rata-rata ekspresi yang sama dan dapat aku tebak dengan mudah. Mereka kebingungan. Sambil membawa map plastik penuh dengan dengan kartu dan kertas-kertas hasil fotokopian, mata mereka liar melihat kertas-kertas pengumuman yang ditempel di sepanjang loket. Sebagian di antara mereka tak henti-hentinya bertanya ke sesama calon pasien atau siapa pun yang bisa mereka tanya.

Tiba giliranku, ter nyata petugas memberitahuku jika aku mengantri di tempat yang salah. Peserta askes seharusnya mengantri di loket khusus askes yang telah disediakan. Rupanya aku tidak sendiri, beberapa orang peserta askes, melakukan kesalahan yang sama. Dan, loket askes lah yang paling panjang antriannya. Rupanya banyak di antara mereka yang harus bolak balik dua hingga tiga kali mengantre untuk sekedar mendaftar, karena hanya membawa kartu askes tanpa memfotokopinya terlebih dahulu. Parahnya, fasilitas fotokopi di sekitar rumah sakit berada jauh dari loket pendafataran. Kalau pun ada, kondisinya sama seperti di loket pendaftaran. Tentu saja antri.
Banyak juga di antara calon pasien pesrta askes yang tidak membawa rujukan dari puskesmas tidak dilayani petugas. Karenanya mereka harus masuk ke ruangan khusus untuk mendapatkan surat rekomendasi dari petugas askes yang standby di situ. Mayoritas di antara mereka berasal dari luar kota Bandung.

Penantian kami tidak sampai di situ. Di klinik penyakit dalam, seperti biasa kami harus mengantre lagi untuk mendapatkan layanan pemeriksaan dokter. Hampir dua jam aku harus menunggu. Ternyata aku menjadi objek pemeriksaan dokter-dokter muda yang baru lulus dan sedang menuntut ilmu untuk menjadi dokter spesialis. Sebagai seorang pengajar juga, aku memaklumi keadaan ini. Bagaimanapun ilmu akan berkembang jika ada objek penelitian. Khusus ilmu kedokteran yang objeknya memang manusia, mau tidak mau kehadiran pasien memang diharapkan oleh para dokter yang sedang belajar ini. Tapi alangkah tidak nyamannya, tatkala saya harus menjawab pertanyaan yang sama bertubi-tubi dari empat sampai lima orang dokter-dokter muda sekaligus pada selang waktu yangtidak terlalu lama bahkan pada saat yang sama.

Dalam ketidaknyamanan, perawat datang memberitahuku bahwa aku harus menunggu hingga pukul 14.00 agar bisa diperiksa dokter senior atau dokter spesialis. Karena di pagi hari dokter spesialis harus bertugas di ruang operasi.

Karena kondisiku sudah tidak memungkinkan lagi harus menunggu, kami memutuskan untuk pulang. Namun sebelum pulang, seorang perawat memberikan pesan kepadaku, jika ingin ditangani langsung oleh dokter spesialis, sebaiknya aku tidak mendaftar sebagai pasien peserta askes. Tapi mendaftar sebagai pasien biasa di klinik spesialis di rumah sakit yang sama. Namun tentu saja tarif yang berlaku berbeda dibandingkan pasien umum di klinik rawat jalan biasa.

Esok harinya aku kembali mendatangi RS yang sama, namun langsung mendaftar di klinik spesialis sebagai pasien umum. Betul saja, layanan yang diberikan jauh berbeda dengan layanan klinik rawan jalan biasa. Kami boleh memilih dokter spesialis yang kami mau, karena pada jam yang sama beberapa dokter spesialis berpraktik secara berbarengan. Dokternya pun begitu ramah dan menerima keluhan kita dengan baik.

Setelah melakukan pemeriksaan, dokte menyarankan agar aku menjalani foto thorax dan serangkaian test laboratorium. Namun karena masuk lewat jalur pasien umum, maka pemeriksaan laboratorium tidak bisa menggunakan fasilitas askes di laboratorium patologi klinik di RS itu. Bahkan dokter menyarankanku melakukan tes di sebuah laboratorium ternama di Bandung, dengan alasan agar hasilnya lebih akurat. Aku jadi bertanya-tanya, bagaiman bisa dokter spesialis di RS itu meragukan sendiri hasil tes laboratorium di tempatnya berpraktek.

Demi mendapatkan hasil yang akurat , sesuai saran dokter aku melaksanakan tes laboratorium di luar RS tsb. Tentunya dengan membayar tariff yang sangat mahal. Test urine, tes darah, foto thorax. Dari sini aku sudah mulai merasa, fasilita askes yang aku miliki tidak ada gunanya sama sekali.
Setelah hasil tes itu selesai, aku harus kembali membawa hasilnya dan memeriksakannya ke dokter spesialis di klinik spesialis. Ternyata, dokter menengarai aku menderita bronchitis dan gangguan liver. Aku diberikan resep obat paten. Yang harganya mahal sekali. Dan aku disuruh kembali lima hari kemudian.

Pada waktu yang telah ditentukan, kondisi ku terus mengalami penurunan. Aku mulai meraskan sesak nafas. Pemeriksaan dokter akhirnya menyarankan agar aku dirawat untuk mengetahui pemeriksaan lengkap. Disamping itu, aku juga sudah mulai kuatir dengan kondisiku sendiri yang semakin payah.

Pada saat itulah, sebagai peserta askes aku mengalami kesulitan untuk menggunakan hakku. Rupanya, agar bisa diakui sebagai persera askes, maka rujukan dokter dari klinik spesialis tidak dapat dipergunakan. Oleh karena itu, aku harus berpura-pura masuk dirawat melalui jalur Unit Gawat Darurat.

Dalam keadaan sesak nafas, aku harus berjalan ke loket UGD dan berhadapan dengan birokrasi yang berbelit di RSHS. Informasi petugas membingungkanku. Aku dipimpong ke sana ke mari hanya untuk bisa mempergunakan fasiltas rawat inap sepert I yang tertera di kartu askes.

Lucunya lagi, dokter spesialis ku menyatakan, jika aku ingin tetap ditanganinya, maka aku harus masuk rawat inap di kelas satu. Padahal jatahku untuk rawat inap adalah di kelas dua sesuai golonganku sebagai PNS. Dengan kondisi begitu, mau tidak mau aku harus menambah sekitar 150 ribu per malam, dan biaya visite dokter di luar tanggungan askes. Saat itu juga aku harus membayar sejumlah uang untuk deposit perawatan selama 5 hari.

Kejadian lainnya yang membuatku bingung, di hari pertama di rawat, seorang petugas sudah mendatangiku menyodorkan tagihan perawatan UGD . Karena merasa tidak pernah dirawat UGD, aku menolak tagihan itu. Aku membaca rincian tagihan dan ternyata aku diharuskan membayar pembelian jarum, sarung tangan, obat-obatan dan perawatan UGD lainnya yang aku tidak merasa membelinya dan mempergunakan. Dengan muka masam si petugas menjelaskan, ini semua demi agar saya bisa dirawat sebagai peserta askes. Karena tidak mau berdebat, suamiku membayar semua tagihan tersebut.

Hari kedua dirawat, dokte menyarankan agar aku melaksanakan lagi sejumla hpemeriksaan. Karena obat paten yang sudah aku beli sudah habis aku konsumsi, maka hasilnya harus diketahui sekarang juga. Belum petugas datang mengambil sampel darah dan urine ku, petugas datang lagi menyodorkan tagihan test yang belum aku jalani sama sekali. Tanda tedeng aling-aling tagihan diberikan langsung kepadaku pasien yang sedang terbaring lemah. Aku melihat sejumlah angka di lembaran kertas itu. Kurang dari 50% tagihan yang ditanggung askes. Sisanya aku harus membayar sendiri. Karena suamiku harus bekerja, siang itu tidak ada keluarga yang menemaniku. Lembar tagihan itu hanya aku simpan di bawah bantal.

Apa yang terjadi? Petugas datang lagi dan menyatakan aku harus segera membayar tagihan, karena petugas yang akan mengambil sampel darah dan urine ku akan datang. Jika belum membayar, maka serangkaian tes itu tidak dapat dilaksanakan. Dengan rasa kesal, aku bilang pada petugas tersebut, supaya tes dilaksanakan saja terlebih dahulu sambil menunggu suamiku datang ke RS. Tapi ternayat petugas itu tetap meminta aku untuk membayar langsung ke tangannya. Kembali, karena aku merasa tes itu sangat aku butuhkan, aku mengikuti kemauannya. Aku, pasien yang sedang terbaring, membayar langsung tagihan pada petugas tersebut. Tidak lebih dari 10 menit, petugas laboratorium mendatangiku.

Ternyata hasil tes menunjukkan bahwa liverku sudah dalam keadaan membaik. Tapi kondisiku terus mengalami penurunan. Aku sudah tidak bisa berjalan ke kamar mandi. Setiap habis dari kamar mandi, maka aku merasa sesak yang amat sangat sampai menimbulkan kepanikan suamiku, karena aku pucat pasi dan tidak bisa berdiri lag. Kakiku kesemutan dan hilang rasa.

Dalam sebuah kesempatan visite dokter menyatakan aku harus melakukan lagi serangkaian tes di sekitar perut. USG abdomen namanya. Dokter memerintahkan kepala perawat membuat rujukan agar aku diantar ke bagian radiologi untuk USG abdomen pada hari itu juga.

Namun apa yang terjadi? Aku tidak dijemput, dan tidak diantar oleh perawat ke bagian radiologi. Pdahal suamiku sudah menyiapkan kursi roda untukku dan tabung oksigen portable. Kami terus menunggu sampai malam tiba, tes itu tidak aku jalani.

Keesokan harinya seorang petugas mendatangiku dan menyatakan jatah USG untuk peserat askes harus menunggu satu hari lagi. Karena masih banyak pasien peserta askes lain yang telah mengantri dari kemarin belum terlayani. Jika pun terlayani, dokter yang melakukan USG dan membaca hasil USG bukan dokter spesialis radiologi, tapi dokter-dokter muda yang masih belajar jadi spesialis radiologi.
Kemudian petugas itu menyarankan aku untuk membayar saja 300 ribu rupiah sebagai pasien luar askes untuk mendapatkan tes USG abdomen yang akurat dan cepat serta tidak perlu menunggu lama alias pada saat itu juga.

Benar saja, setelah aku membayar ke petugas tersebut, aku dijemput oleh dua perawat dan dibawa ke bagian radiologi pada saat itu untuk menjalani tes USG abdomen. Pemandangan mengkhawatirkan aku lihat di bagianradiologi. Orang-oarng dengan map plastic yang berisi fotokopian kartu askes dan kertas-kertas serta amplop –amplop hasil tes laboratorium tampak berjubel duduk di seputar ruangan. Aku ditangani langsung oleh dokter spesialis radiologi yang tampak sudah mumpuni membaca hasil USG.Tidak lama menunggu, hasil USG sudah ada ditanganku.

Berikutnya, saat visite pagi-pagi dokter penyakitdalam ku mendatangiku dan melihat hasil diagnose dokter radiologi. Hasilnya ,tidak ada masalah dengan perutku. Ginjal, liver, pancreas dan lainnya tampak normal.

Dokter yang tampak bingung kemudian membuka lagi file foto thorax dan gambaran EKG ku. Normal katanya. Namun dia mencurigai ada sedikit pembengkakan jantung padaku.
Akhirnay dokter menyarankan agar aku menjalani lagi tes echo cardiologi. Semacam USG jantung dengan komputer canggih. Aku kembali dirujuk ke bagian jantung untuk menjalani tes.

Sementara kondisiku sedang parah dan di tengah kebingungan karena penyakitnya belum diketahui, kembali aku mengalami terror tak berkesudahan dari petugas yang datang menyodorkan tagihan. Kali in yang datang tagihan obat yang aku konsumsi sehari 3 x sejak aku dirawat di RS ini.

Yang membuat aku terkaget-kaget adalah, ternyata dari tagihan obat yang hampir mendekati satu juta rupiah, hanya 5% obat yang termasuk DPHO Askes. Sisanya adalah obat paten. Dan yang membuat aku tercengang, ternyata yang ditanggung askes itu adalah hanya obat B-complex. Sisanya, obat mual, obat pelancar buang air kecil dan besar, obat –obat untuk memperbaiki liver dan vitamin C yang semuanya paten.

Aku bertanya-tanya, mengapa dokter yang merawatku tidak memberikan obat yang ada di DPHO ?? Bukankan sedari awal dia mengetahui bahwa aku ini adalah pasien peserta askes??

Masalah tagihan obat belum tuntas, muncul masalah baru, ternyata echocardio tidak termasuk ke dalam daftar layanan askes. Karena itu, aku harus membayar sendiri biaya tes USG jantung itu. Dengan diliputi rasa penasaran yang amat sangat, aku memutuskan untuk menjalani tes sesuai saran dokter.

Aku jadi terbiasa dengan sistem RS ini yang harus semuanya bayar di muka. Aku titip pembayaran tes echo kardio pada petugas. Dan tidak lama kemudian aku dites dokter jantung hebat bernama Pintoko. Dia lah yang pertama kali memberitahuku jika di jantungku bersarang tumor yang dia sebut sebagai mixoma. Pintoko memperkirakan tumor itu berdiameter 3x4 cm dan bertangkai. Tumor itu telah menutup saluran darah dari jantung ke paru-paru dan membuat aku merasakan sesak nafas. Dia juga yang dengan tegas menyatakan aku harus menjalani operasi bedah jantung terbuka secepatnya, sebelum semuanya terlambat.

Aku menyebutnya sebagai petir di siang hari. Di tengah kepercayaan ku terhadap dokter dan rumah sakit ini semaki nmenurun, pada saat yang sama aku harus memutuskan menjalani operasi bedah jantung terbuka atau tidak.

Jujur, aku takut dengan operasi . Tapi aku lebih takut dengan besarnya ongkos yang harus keluargaku tanggung untuk biaya operasi ku. KOndisi kesehatanku semakin menurun. Aku bimbang. Terlebih saat suamiku menanyakan total biaya yang harus aku bayar untuk operasi. Petugas di bagian jantung menyebutkan dengan fasilitas akses yang aku punya, perkiraan biaya mencapai 50 juta rupiah termasuk bayar ruang operasi, obat, perlengkapan dan peralatan operasi, tim dokter termasuk dokter anestesi, di luar biaya rawat inap dan obat-obatan sebelum dan sesudahnya.
50 juta?? Untuk pasien peserta askes??

Di tengah kebimbangan, TUhan menurunkan kekuasaannya. Sejumlah teman yang datang menengokku memberikan semangat dan memberikan informasi berharga. Bahwa ada rumah sakit khusus untuk pasien sakit jantung di Jakarta. RS Harapan Kita bisa memberikan layanan askes dengan standar internasional.

RS Harapan Kita menjelma menjadi tumpuan harapan hidup buatku. Aku melakukan kontak marathon dengan customerservice RS HarKit melalui telepon. Sementara suamiku pergi ke sana untuk survei tempat dan situasi di RS Harkit. Penjelasan customer service lewat telepon itu membangkitkan semangatku. Penuturannya sangat jelas, singkat dan gamblang. Tidak bertele-tele dan menunjukkan profesionalisme.

Sementara itu aku juga terus mencari tahu tentang penyakitku. Rupanya temanku juga melakukan hal yang sama dengan browsing di internet. Hasilnya malah profil dokter Pintoko yang dia dapat. Dokter Pintoko alumni RS Harapan Kita.

Aku meminta para perawat agar dokter PIntoko melakukan visite ke kamar tempat aku dirawat. Tapi aku menangkap usaha menghalang-halangi dari para perawat, dengan alasan harus meminta ijin pada dokter internis yang sejak awal merawatku.

Berbekal info dari seorang teman, aku melakukan kontak langsung dengan dokter pintoko melalui ponselnya. Akhirnay dokter itu datang juga memeriksaku. Ekspresi kaget tergambar di wajahnya, melihat daftar obat-obatan yang aku konsumsi selama ini tidak relevan sama sekali dengan penyakitku.
Akhirnya dia member I resep obat baru padaku. Obat yang akan membuat aku sering pipis karena memang cairan dalam tubuhku harus banyak dibuang agar kerja jantungku tidak terlalu berat.

Kesempatan itu juga aku pergunakan untuk berkonsultasi soal operasi yang akan aku jalani. Ternyata dokter Pintoko terheran-heran karena hingga detik itu, dirinya belum diajak untuk melakukan konfrensi mengenai penyakit , kondisi dan operasiku oleh dokter internis yang merawatku sejak awal.

Yang membuat aku semakin tidak mengerti, sejak Pintoko memeriksaku, dokter internisku tidak muncul-muncul ke ruanganku. Dia seperti ditelan bumi. Sementara dokter Pintoko masih menunggu langkahnya.Tidak jelas, apakah seharusnay ada serah terima pasien atau prosedur dan etika antar dokte seperti apa untuk pasien sepertiku. Memang dari awal aku masuk lewat jalur bagian penyakit dalam, tapi ternnyata penyakitku bersumber dari jantung. Apakah kemudian diserahkan ke bagian jantung atau bagaimana, tidak jelas.

Kesimpangsiuran ini semakin menurunkan kepercayaan ku pada dokter dan pelayanan RS tsb. Akhirnya aku memberanikan diri meminta pendapat Pintoko apakah aku sebaiknya operasi di RS itu atau di Harapan Kita? Pintoko dengan bijak menjawab semuanya terserah padaku, yang penting jika memang akan operasi di RS Harkit, maka dirinya akan memberikan rujukan pada gurunya di RS Harkit yaitu Dr Bambang SPJP.

Di malam ke tujuh aku dirawat di RS itu, suamiku datang dari Jakarta membawa kabar baik. Saat mencari keterangan di RS Harapan Kita, suamiku sempat berbincang dengan mantan pasien operasi dan rawat inap di rumah sakit itu yang kebetulan juga merupakan pasien peserta askes. Informasi dari mereka sangat membantunya untuk semakin optimis memindahkan perawatan ku ke RS Harkit dan melaksanakan operasi di sana. RS Harkit telah melakukan kerjasama yang baik dengan PT Askes. Sehingga biaya yang harus ditanggung oleh pasien peseta askes di RS Harkit hanya berkisal 20% dari total biaya operasi dan perawatan.

Informasi itu seperti oase di padang pasir buat kami. Malam itujuga kami memutuskan untuk pindah ke RS Harkit dan menjalani operasi di sana.

Namun ternyata memindahkan pasien tidak semudah membalikkan telapak tangan. RS temat aku dirawat, berusaha mengulur-ulur waktu agar aku tidak segera pindah. Mulai alasan harus ada ijin dari dokter internistku yang masih berkonfrensi hingga memberikan daftar syarat yang harus aku penuhi sebelum operasi dijalankan. Aku dipaksa melaksanaka nlagi serangkaian tes serupa tes paru , tes kesehatan gigi dan lain-lain.

Parahnya lagi, teror kembali datang dari petugas. Kali ini aku diminta membayar lagi tambahan deposit uang muka, karena sudah hampir 10 hari menjalani rawat inap.

Begitu pula dengan birokrasi askes sendiri, ternyata RS Harkit yang berada di wilayah berbeda dengan domisili ku di Bandung , mengharuskan aku membawa surat rekomendasi dari kantor wilayah askes Jabar ke wilayah askes Jakarta. Surat rekomendasi tersebut harus diurus suamiku ke sebuah kantor di bilangan Pasteur Bandung.

Esok harinya setelah berhari-hari dilanda kebingungan, Tiba-tiba pada suatu siang, seorang dokter bedah thorax mendatangiku dan menanyakan kepastian tempat aku akan menjalani operasi. Rupanya dokter itu dihubungi dokter internisku untuk mengunjungiku. Dengan mantap aku memmilih pindah ke RS Harkit. Aku masih ingat ekspresi dokter itu yang mendadak dingin dan tidak peduli. Dia meninggalkanku begitu saja dengan dua kata “ya sudah…”

Kepindahan pasien seperti ku yang sudah lemah tak berdaya kedari Bandung ke Jakarta melahirkan masalah baru lagi. Layanan askes tidak menyedikan layanan ambulance. Padahal pasien jantung seperti aku harus ditemani dua perawat, tabung oksigen dan peralatan ambulance standar.Aku harus membayar hampir 1,5 juta untuk sewa ambulance.Total untuk perawatan selama 10 hari di RS, aku yang peserta askes harus membayar 7,5 juta rupiah. Total biaya yang fantastis untuk membayar obat paten, tambahan kamar kelas 1, visite dokter dan serangkaian test pendukung diagnose.

Tapi aku bersyukur akhirnya aku pindah ke RS yang jauh lebih beradab. Walau mendapatka layanan kelas dua, namun perawatan di RS Harkit masih membuat aku terkagum-kagum hingga kini. Layanan di RS Harkit jauh lebih berkualitas dibanding layanan kelas satu di RS sblmnya. RS Harkit itu tidak membeda-bedakan pasien askes dengan pasien umum.

Sejak datang di pintu masuk UGD, aku seperti masuk ke dalam peran film ER yang pernah ditayangkan di televisi. Semua petugasnya sigap dan cermat. Petugas administrasinya sangat ramah. Tidak ada acara antre dan fotokopi sana sini. Semuanya dikerjakan petugas. Sangat rapi.

Tidak ada teror petugas dengan lembar tagihan yang mengetuk pintu kamar. Dokter muda calon spesialis sangat menjaga etika dan sopan santun saat turut memeriksa pasien. Kedatangan mereka ke ruangan pasien selalu ditemani dokter senior nya. Petugas laboratorium akan datang setelah dokter memerintahkan. Tidak peduli apakah pasien telah membayar atau belum. Bahkan test scan MRI sebesar 2,7 juta yang tidak terrmasuk layanan askes pun, aku jalani tanpa harus membayar terlebih dahulu. Semua obat yang wajib aku konsumsi adalah obat yang ada dalam DPHO Askes.

Dan yang paling membuat kami bersyukur, dari total biaya perawatan dan operasi sebesar 60 juta, aku hanya diharuskan membayar 9 juta rupiah. Semua pengeluaran begitu terperinci. Mulai peralatan dan perlengkapan yang aku tidak tahu namanya, sampai hal-hal terkecil serupa jarum suntik, infus, obat, sarung tangan, perban, betadine, dan sebagainya.

Apa yang terjadi jika aku memutuskan melaksanakan operasi di RS tmpat aku dirawat sblmnya di bdg ?? Mungkin hutang 60 juta rupiah harus aku tanggung seumur hidupku, kalau aku hidup. Atau keluargaku yang harus menanggungnya jika aku tidak selamat dalam operasi atau meninggal dunia.

Aku tidak habis pikir, mengapa dua rumah sakit yang sama-sama miik pemerintah bisa berbeda dalam memberikan pelayanan askes pada pasien peserta askes? Apa yang membedakan kerjasama dengan PT AKSES di antara keduanya?? Mengapa PT Askes tidak menerapkan kerjasama yang sama dengan semua RS?? Janga nsampai anggapan bahwa layanan askes tidak bisa diandalkan, benar-benar tertanam di benak masyarakat.

Sabtu, 09 Agustus 2008

Octopus

Orang-orang berbaju biru toska itu lalu lalang kesana kemari. Sosok mereka seperti diikuti bayang-bayang serupa. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Yang jelas, aku merasakan sesuatu dalam tenggorokanku. Mencekikku. Glek! Aku tersedak.
Aku melihat ke sekelilingku. Nuansa biru toska makin menyelimutiku serupa halimun dataran tinggi yang turun di sore hari. Warna gordyn ini. Aku mengenalinya.
Rupanya aku telah siuman dari operasi besar untuk mengangkat tumor yang tumbuh di dalam jantungku. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri karena pengaruh anestesi. Aku mengira-ngira kini aku berada di mana. Pastinya ruang ICU seperti yang dijelaskan suster saat orientasi pra operasi.
Glek! Kali ini kembali aku tersedak! Weeek! Rupanya sebuah selang besar tertancap ke dalam mulut hingga tenggorokanku.
Tiba-tiba aku merasakan mual yang luar biasa. Aku ingin muntah se muntah-muntahnya. Bulk..bulk..bulk.. rasanya semua isi perutku ingin keluar. Tapi bukankah isi perutku sudah dikuras habis beberapa jam sebelum aku operasi? Aku juga puasa sehari penuh.
Dan tidak lama kemudian, aku benar-benar muntah. Aku seperti mesin permainan di sebuah casino tempat judi di Las Vegas. Hanya gara-gara dipancing sekeping koin, kemudian memuntahkan ratusan koin lain, karena pada saat bersamaan memunculkan tiga gambar yang serupa sambil membunyikan sirenennya. “Jackpot!”
Selang besar itu, rupanya alat bantu nafasku. Setiap aku bernafas, terdengar bunyi nafasku keluar dari serupa kantung udara kembang kempis di sampingku. Kantung itu kemungkinan besar alat pengganti paru-paruku.
Seorang perawat mengelap cairan kuning ke coklat-coklatan yang keluar dari mulutku. Seorang perawat berbaju toska yang lain menghampiriku. Dia membawa sebuah selang berdiameter kecil yang cukup panjang.
“Bu..isi lambungnya mau keluar semua tuch.. saya masukin selang ya..”katanya
Kurang dari satu detik, selang itu sudah masuk ke dalam hidungku, terus menjalar ke dalam kerongkonganku.
Glek! Terasa ujung selang terus masuk ke dalam tenggorokanku
“Telan ya bu.. telan…. Terus telan…” dua perawat di sampingku memberi instruksi bertubi-tubi.
Bulk..bulk..bulk.. kembali aku merasa mual. Dan beberapa detik kemudian, kulihat selang itu berubaqh warna menjadi kuning kecoklatan.
Tidak sampai di situ, aku melirik ke pundakku. Tiga buah selang kecil yang bermuara ke sebuah selang sedang lainnya tertancap di sebelah dada atas.
Ku angkat tanganku pun, kulihat selang-selang menempel di pergelangan dan siku.
Kuraba perutku. Ada selang juga menempel.
Sementara di dadaku tertempel empat lidah serupa double tape yang dicantoli kabel-kabel yang tersambung ke atas monitor di samping ranjangku.
Kini aku seperti gurita yang bertangan banyak. Persis musuh Spiderman. Aku membayangkan kini aku seperti Profesor yang berubah menjadi gurita sepraruh manusia musuh superhero Siperdman. Aku seperti Octopus…… dan aku kembali tak berdaya…

Saatnya Jadi Idola

“Kamu liat ga penampilan si Joko kemarin?”
“Memangnya dia menang?”
“Dapat duit berapa?”
“Hebat juga tuch dia. Ngetop donk”
Perbincangan sepotong-sepotong itu sekonyong-konyong terdengar di telingaku. Aku terbangun dari tidurku. Tapi mengapa aku tidak bisa membuka mataku? Badanku pun lemas sekali rasanya.
Oh, aku terkena eureup-eureup pikirku. Padahal sudah bertahun-tahun aku tidak mengalaminya lagi. Eureup-eureup adalah sebutuan ibuku buat keadaan di mana kita berada di antara antara dunia mimpi alam bawah sadar kita dengan dunia nyata. Tapi kita tidak bisa terbangun, karena ada sesuatu menindih kita.
“Itu akibatnya, kalau mau tidur tidak berdoa dulu!” kata ibuku waktu aku masih kecil dulu. Tapi ibuku tidak pernah menjelaskan dengan gamblang apa yang menindihku jika terkena eureup-eureup. Aku hanya mendapatkan keterangan berbau mistis dari teman-teman sepermainanku tentang gejala eureup-eureup ini.
Aku mencoba menyingkirkan sesuatu yang menindihku ini dari badanku.Biasanya dengan sedikit usaha dan konsentrasi, akan menghilang.Namun situasi kali ini amatlah berbeda. Aku tetap merasa lemas, tak berdaya, bahkan sedikitpun aku tidak bisa mengangkat kelopak mataku.
Apa ini? Di mana aku? Aku yakin masih ada di dunia nyata. Aku belum mati.
Suara dua orang yang sedang mengobrol tadi makin jelas di telingaku.
“Dapat hadiah berapa ya si Joko?
Di tv mana sich?
Koq aku ga liat?” suara perempuan bernada tanya
“Di RCTI. Nama acaranya Saatnya jadi Idola!” jawab si pemilik suara laki-laki. Pembicaraan santai itu makin dekat di telingaku.
“Astagfirullah….” Gumamku. Aku baru tersadar, aku baru saja melewati ujian paling berat dalam hidupku. Operasi jantung. Ya.. terakhir kali yang kuingat, sorotan lampu besar itu menyilaukanku. Lantas sejurus kemudian aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
Aku mencoba menggerakkan tanganku.
Tidak bisa.
Ya Allah… apa yang terjadi padaku? Inikah yang disebut orang-orang dengan koma? Untuk pertamakalinya aku merasakan ketakutan yang luar biasa.
Terakhir kali sebelum tindakan operasi dilakukan, aku berbicara dengan suamiku. Aku berpesan, jika setelah operasi aku mengalami koma dan tidak terbangun lagi, dan hanya bisa bernafas karena bantuan alat-alat, kemudian dokter memberikan pilihan pada keluarga untuk membiarkan keadaan ku seperti itu atau mengakhirinya, aku memohon agar pilihan yang kedua yang diambil oleh suamiku. Aku tak mau bernasib seperti artis sinetron Sukma Ayu yang menempatkan keluarga pada posisi makan buah simalakama. Aku rela. Aku ikhlas.
Tapi sesungguhnya aku tidak menyangka, jika rasanya akan begitu sedemikian mengerikan. Aku juga teringat seorang ustadz di majelis taklim pernah mengatakan, bahwa pendengaran lah yang terakhir dicabut oleh Malaikat Maut saat kematian menjemput.
“Bu.. bangun Bu! Operasinya sudah selesai!” bisik sebuah suara milik perempuan yang tadi terdengar berbincang.Plok! Plok! Plok! Terasa tamparan tangan bertubi-tubi mengarah ke pipiku. “Ya…ya..ya… aku mau bangun”, teriakku.Oh Tuhan! Tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Bibirku pun kelu!
“Bu… ibu dengar suara saya? Kalau ibu dengar, anggukan kepala ya Bu…” perintah suara itu lagi.
Aku mengangguk. Aku merasa telah mengangguk. “Gimana ini Dok?” suara perempuan itu terdengar lagi bertanya entah kepada siapa. Aku tak mampu melihatnya. Gelap.
Tiba-tiba sebuah sinar menyilaukanku. Mata sebuah lampu senter menyorotiku. Rupanya ada jari-jari tangan yang membuka kelopak mataku dengan paksa.
Tampak wajah laki-laki berkumis dan berbaju putih di hadapanku. Jari-jari di tangan kirinya terus memegang kelopak mataku. Sedangkan tangan kanannya terus digerak-gerakkan memegang lampu senter ke kiri, ke kanan, ke atas dan ke bawah.
Aku mencoba mengerakkan bola mataku mengikuti sorotan sinar cahaya itu.
Seolah aku ingin berteriak kepada laki-laki di hadapanku dan tiga orang lagi di belakangnya
“Hai…aku hidup. Aku sadar. Aku mendengar semua perkataan kalian! Tapi aku tidak bisa bergerak!
Hanya beberap detik saja. Jari tangan itu melepaskan lagi kelopak mataku.
Mataku terpejam lagi. Gelap lagi.
“Ya sudah… tranfusi aja” perintah sebuah suara laki-laki dengan nada berat.
“Berapa labu dok?” tanya suara yang perempuan yang lain.
“Dua labu saja”, terdengar lagi suara pemberi perintah.
Dan, semuanya kembali gelap.Aku kembali tertidur dan bermimpi bertemu Joko si perawat yang kini menjadi idola….

Jumat, 08 Agustus 2008

BAND TITANIC

Duk! Duk! Duk! Bunyi dengan tempo konstan itu makin lama makin jelas di telinga serupa palu godam yang dipukul-pukulkan ke kepalaku. Tawa cekikik riang suster-suster yang tuntas bertugas, seperti sengaja meledek aku yang sudah tak mungkin lagi tertawa. Sayup-sayup suara nyaring perempuan mirip Rossa melantunkan Ayat-ayat cinta bagiku terasa menyayat-nyayat lubuk hati. “……….pengorbanan cinta yang agung, kupersembahkan……”
Kantuk ini sudah menyerang. Tapi sedikitpun aku tidak bisa memejamkan mata. Sudah pukul 10 malam. Aku tak habis pikir, di sebuah ruangan kelas satu, gedung baru rumah sakit rujukan terbesar di Bandung, pasien yang seharusnya bisa tenang untuk istirahat, malahan diganggu dengan keributan yang tak perlu terjadi.
Duk! Duk! Duk! Suara itu terdengar lagi, bersahut-sahutan persis perkusi mengiringi alunan original sound track film yang katanya fenomenal tapi tak sempat aku tonton karena keburu sakit. Kedengarannya Rossa palsu itu sedang latihan untuk sebuah pementasan. Usai sampai ending lagu itu, kembali intro di awal lagu diperdengarkan.
Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku. Kuraih tombol bel yang menempel di atas sandaran ranjangku. “Sebenarnya fungsi bel ini apa sich? Bukankah diperuntukkan sebagai panggilan darurat jika pasien membutuhkan pertolongan perawat? Tapi kenapa tidak ada kabel yang menyambung supaya pasien tidak bersusah payah harus bangun hanya untuk memencetnya? “ aku bergumam sendiri. “Semprul nich orang yang bikin!” gerutu aku lagi.
“tit…tit..tit…tit..tit… sudah lima kali bunyi “tit” itu terdengar. Tapi tak ada langkah sepatu suster datang ke kamarku. Ku pijit lagi untuk yang kedua kalinya. Bunyi "tit" itu sayup-sayup terdengar lagi. Sampai 10 kali. Satu, dua, tepat dihitungan ke tiga, muncullah perempuan muda cantik berkerudung putih membuka tirai yang membatasi tempat tidurku dengan ranjang di sebelahnya.
“Kenapa bu….?” Tanyanya sedikit jutek.
“Suster, apakah ini cuma khayalanku? Atau suster juga mendengarnya? ada pertunjukkan band di gedung ini”, kataku dengan nafas naik turun.
Tidak ada jawaban. Suster itu hanya diam sambil mengernyitkan kening dan memicingkan matanya. Mencoba mencari sumber suara yang aku maksudkan. Kemudian dia memonyongkan mulutnya.
Aku mencoba menebak-nebak ekspresi si suster. Pikirnya aku ini cuma menyusahkan dia yang baru saja aplusan dengan teman-temannya yang kini sudah dengan damai pulang menuju rumah masing-masing.
“Bukan apa-apa bu…, itu suara residen yang lagi latihan nyanyi. Besok bakal ada acara brevet. Ibu tidur ya…!” katanya mencoba menenangkanku.
“Brengsek!” sungut aku. Sementara pasien-pasien sedang berjuang hanya untuk sekedar tidur, dokter-dokter calon spesialis itu bernyanyi-nyanyi ria bersiap-siap merayakan kesuksesan teman mereka yang bakal dianugerahi gelar baru di belakang gelar selama ini. Gelar baru itu lah yang akan menambah jauh lebih banyak pundi-pundi mereka. Sales-sales obat utusan perusahaan farmasi bakal makin rajin mengejar-ngejar mereka. Menawarkan produk terbaru, memberikan goody bag yang isinya bolpen, pensil, penggaris, buku memo, atau alat tulis lain dengan sablonan merk obat. Atau detailer obat yang kini rada naik pangkat dengan istilah medical representative itu bakal menawarkan sebuah acara presentasi pada saat makan siang atau malam di sebuah restoran terkenal. Bahkan bonus spesial ibarat hidangan utama berupa mobil atau liburan ke luar negeri dengan dalih konfrensi kesehatan internasional yang tidak lain ujung-ujungnya cuma dagang obat baru.
“Kalau suara duk duk itu apa sus?” tanyaku lagi
“Oh… itu suara tukang lagi benerin kamar sebelah’, jawabnya enteng.
“Gila!” pikirku. Kubiarkan suster itu ngeloyor dari pandanganku.
Tiba-tiba aku teringat suamiku pastinya kini sedang duduk melamun memandang kaca jendela yang gelap di dalam kereta api dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Memikirkan darimana dia mencari uang sebesar 60 juta untuk membayar operasi bedah jantung terbuka isterinya .
Ya..tadi pagi-pagi sekali dia sudah pergi ke sebuah rumah sakit di bilangan Slipi menjajaki rencana kepindahanku untuk dirawat di sana. Mudah-mudahan dia membawa kabar baik. Aku sudak mantap untuk meninggalkan rumah sakit tempat aku dirawat sekarang. Aku merasakan suasana yang mencekam di sini. Genap sepuluh hari sudah aku terbaring di sini. Tapi aku merasa sedang terperangkap di salah satu kabin mewah kapal raksasa Titanic yang terombang-ambing di tengah lautan dan sebentar lagi karam karena baru saja menabrak gunung es.
Nafasku semakin berat. Aku beranjak lagi. Tanganku meraih regulator tabung oksigen. Kuraih juga selang yang melingkar-lingkar di atasnya. Pelan-pelan kucolokkan dua lubangnya di kedua lubang hidungku. Kuhirup dalam-dalam aliran udara yang bergerak dan membuat bulu hidungku menari-nari kegelian.
……Maafkan bila ku tak sempurna….Cinta ini tak mungkin ku cegah…. Duk! Duk! Duk!
Suara serak-serak basah penyanyi karbitan dan pukulan palu yang tiada henti makin memekakkan telinga. Aku mencoba menikmatinya. Semakin aku dengarkan, pikiranku semakin melayang. Teringat penggesek biola dan cello yang memainkan melodi di tengah kepanikan penumpang kapal sampai Titanic tenggelam…..