Kamis, 21 Januari 2010

ASKES

"Bu Yesi, ini kartu askes nya sudah selesai, bisa langsung ibu pakai, tapi saya doakan, mudah-mudahan ibu tidak akan pernah menggunakannya, “ demikian yang dikatakan Bu Hanna tahun 2006 lalu kepadaku.

Pesan petugas di Bagian kepegawaian Fikom Unpad saat itu mungkin tidak berarti apa-apa bagiku. Tapi kini, aku baru mengerti dan paham maknanya. Ya, seharusnya aku mengamini ucapan serupa doa tulus itu.

Fasilitas askes mungkin sangat didambakan jutaan orang di Indonesia. Bagaimana tidak.Fasilitas kesehatan menjelma bak intan berlian yang sangat berharga di tengah situasi ekonomi seperti sekarang yang serba sulit. Siapa yang tidak ingin mendapatkan semua pelayanan kesehatan seperti yang tertera di kartu askes? Ah.. rugi rasanya pikirku jika aku tidak memanfaatkannya semaksimal mungkin.

Namun ternyata bagi PNS Golongan III/a sepertiku, memanfaatkan fasilitas askes tidaklah semudah yang dibayangkan. Walau pada akhirnya aku menemukan pelayanan askes yang serba prima di RS Pusat Jantung Harapan Kita, namun aku harus melewati perjalanan panjang nan berliku yang hampir membuatku putus asa saat dirawat di RS negeri rujukan terbesar di kota Bandung. Mulai harus melewati birokrasi yang berbelit-belit , perlakuan diskriminatif , sampai stres berat karena teror para petugas yang jauh dari profesional bahkan tidak berprikemanusiaan.

Kejadiannya berlangsung di awal tahun 2008 silam. Peristiwa yang luar biasa dalam hidupku. Aku menjalani operasi bedah jantung terbuka untuk mengeluarkan tumor yang tumbuh di organ jantungku. Beruntung sampai saat ini aku masih hidup. Karena Tuhan memberikan pertolongan dengan cara-Nya.
Awalnya saat berdiri di depan kelas , aku merasakan pusing luar biasa yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Kakiku lemas, mata berkunang-kunang dan sejurus kemudian gelap gulita. Aku pingsan di hadapan para mahasiswa yang sedang serius memperhatikan slide materi kuliah yang aku ajar. Esok harinya aku merasakan hal yang sama setiap rukuk dan sujud saat sholat. Dua hari kemudian aku merasakan kelelahan luar biasa saat berjalan menapaki anak tangga menuju lantai tiga gedung kuliah. Bahkan seminggu kemudian aku hampir pingsan saat beranjak dari kolam renang tempat aku biasa berolahraga.

Beberapa hari kemudian setelah di awal Februari usai merayakan ulang tahun perkawinan kami yang ke lima, di antar suami, aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Merasa memiliki fasilitas askes, aku mendatangi Puskesmas Pasirkaliki Bandung, Puskesmas terdekat dengan rumahku. Saat itu pula adalah kail pertama aku mempergunakan fasilitas akes ku. Ternyata mendapatkan fasilitas pemeriksaan secara gratis di Puskesmas tidak membuatku puas. Pemeriksaan oleh dokter yang hanya berlangsung kurang dari 5 menit terasa terlalu singkat dibandingkan dengan lamanya mengantri di jendela pendaftaran atau menunggu hampir lebh 2 jam hanya untuk mendapatkan giliran diperiksa. Lebih singkat lagi bagiku yang sebenarnya mempunyai banyak keluhan yang ingin disampaikan pada dokter. Saat itu dokter hanya mengukur tekanan darahku, memberikan obat gratis yang bisa diambil di loket obat dan tidak memberikan rujukan apapun padaku untuk melakukan tes kesehatan yang lain.

Karena tidak kunjung membaik, tiga hari kemudian, aku memutuskan untuk datang dan meminta surat rujukan ke rumah sakit. Dokter yang memeriksaku menolak memberi rujukan, dengan alasan kondisiku masih memungkinkan untuk diobati di puskesmas. Padahal, hari itu aku datang menghadapnya sambil terhuyung-huyung dan nafas yang mulai tersengal-sengal. Karena aku terus memaksa, akhirnya dokter itu memberikan surat rujukan kepadaku untuk periksa di RS rujukan terbesar di Jawa Barat.

Tidak menyianyiakan waktu, setelah mendapatkan surat rujukan, aku langsung menuju klinik rawat jalan di RS itu. Aku sempat tercengang saat melihat antrian yang begitu panjang di depan loket pendaftaran yang memanjang dengan belasan jendela petugas. Ratusan orang hilir mudik dengan rata-rata ekspresi yang sama dan dapat aku tebak dengan mudah. Mereka kebingungan. Sambil membawa map plastik penuh dengan dengan kartu dan kertas-kertas hasil fotokopian, mata mereka liar melihat kertas-kertas pengumuman yang ditempel di sepanjang loket. Sebagian di antara mereka tak henti-hentinya bertanya ke sesama calon pasien atau siapa pun yang bisa mereka tanya.

Tiba giliranku, ter nyata petugas memberitahuku jika aku mengantri di tempat yang salah. Peserta askes seharusnya mengantri di loket khusus askes yang telah disediakan. Rupanya aku tidak sendiri, beberapa orang peserta askes, melakukan kesalahan yang sama. Dan, loket askes lah yang paling panjang antriannya. Rupanya banyak di antara mereka yang harus bolak balik dua hingga tiga kali mengantre untuk sekedar mendaftar, karena hanya membawa kartu askes tanpa memfotokopinya terlebih dahulu. Parahnya, fasilitas fotokopi di sekitar rumah sakit berada jauh dari loket pendafataran. Kalau pun ada, kondisinya sama seperti di loket pendaftaran. Tentu saja antri.
Banyak juga di antara calon pasien pesrta askes yang tidak membawa rujukan dari puskesmas tidak dilayani petugas. Karenanya mereka harus masuk ke ruangan khusus untuk mendapatkan surat rekomendasi dari petugas askes yang standby di situ. Mayoritas di antara mereka berasal dari luar kota Bandung.

Penantian kami tidak sampai di situ. Di klinik penyakit dalam, seperti biasa kami harus mengantre lagi untuk mendapatkan layanan pemeriksaan dokter. Hampir dua jam aku harus menunggu. Ternyata aku menjadi objek pemeriksaan dokter-dokter muda yang baru lulus dan sedang menuntut ilmu untuk menjadi dokter spesialis. Sebagai seorang pengajar juga, aku memaklumi keadaan ini. Bagaimanapun ilmu akan berkembang jika ada objek penelitian. Khusus ilmu kedokteran yang objeknya memang manusia, mau tidak mau kehadiran pasien memang diharapkan oleh para dokter yang sedang belajar ini. Tapi alangkah tidak nyamannya, tatkala saya harus menjawab pertanyaan yang sama bertubi-tubi dari empat sampai lima orang dokter-dokter muda sekaligus pada selang waktu yangtidak terlalu lama bahkan pada saat yang sama.

Dalam ketidaknyamanan, perawat datang memberitahuku bahwa aku harus menunggu hingga pukul 14.00 agar bisa diperiksa dokter senior atau dokter spesialis. Karena di pagi hari dokter spesialis harus bertugas di ruang operasi.

Karena kondisiku sudah tidak memungkinkan lagi harus menunggu, kami memutuskan untuk pulang. Namun sebelum pulang, seorang perawat memberikan pesan kepadaku, jika ingin ditangani langsung oleh dokter spesialis, sebaiknya aku tidak mendaftar sebagai pasien peserta askes. Tapi mendaftar sebagai pasien biasa di klinik spesialis di rumah sakit yang sama. Namun tentu saja tarif yang berlaku berbeda dibandingkan pasien umum di klinik rawat jalan biasa.

Esok harinya aku kembali mendatangi RS yang sama, namun langsung mendaftar di klinik spesialis sebagai pasien umum. Betul saja, layanan yang diberikan jauh berbeda dengan layanan klinik rawan jalan biasa. Kami boleh memilih dokter spesialis yang kami mau, karena pada jam yang sama beberapa dokter spesialis berpraktik secara berbarengan. Dokternya pun begitu ramah dan menerima keluhan kita dengan baik.

Setelah melakukan pemeriksaan, dokte menyarankan agar aku menjalani foto thorax dan serangkaian test laboratorium. Namun karena masuk lewat jalur pasien umum, maka pemeriksaan laboratorium tidak bisa menggunakan fasilitas askes di laboratorium patologi klinik di RS itu. Bahkan dokter menyarankanku melakukan tes di sebuah laboratorium ternama di Bandung, dengan alasan agar hasilnya lebih akurat. Aku jadi bertanya-tanya, bagaiman bisa dokter spesialis di RS itu meragukan sendiri hasil tes laboratorium di tempatnya berpraktek.

Demi mendapatkan hasil yang akurat , sesuai saran dokter aku melaksanakan tes laboratorium di luar RS tsb. Tentunya dengan membayar tariff yang sangat mahal. Test urine, tes darah, foto thorax. Dari sini aku sudah mulai merasa, fasilita askes yang aku miliki tidak ada gunanya sama sekali.
Setelah hasil tes itu selesai, aku harus kembali membawa hasilnya dan memeriksakannya ke dokter spesialis di klinik spesialis. Ternyata, dokter menengarai aku menderita bronchitis dan gangguan liver. Aku diberikan resep obat paten. Yang harganya mahal sekali. Dan aku disuruh kembali lima hari kemudian.

Pada waktu yang telah ditentukan, kondisi ku terus mengalami penurunan. Aku mulai meraskan sesak nafas. Pemeriksaan dokter akhirnya menyarankan agar aku dirawat untuk mengetahui pemeriksaan lengkap. Disamping itu, aku juga sudah mulai kuatir dengan kondisiku sendiri yang semakin payah.

Pada saat itulah, sebagai peserta askes aku mengalami kesulitan untuk menggunakan hakku. Rupanya, agar bisa diakui sebagai persera askes, maka rujukan dokter dari klinik spesialis tidak dapat dipergunakan. Oleh karena itu, aku harus berpura-pura masuk dirawat melalui jalur Unit Gawat Darurat.

Dalam keadaan sesak nafas, aku harus berjalan ke loket UGD dan berhadapan dengan birokrasi yang berbelit di RSHS. Informasi petugas membingungkanku. Aku dipimpong ke sana ke mari hanya untuk bisa mempergunakan fasiltas rawat inap sepert I yang tertera di kartu askes.

Lucunya lagi, dokter spesialis ku menyatakan, jika aku ingin tetap ditanganinya, maka aku harus masuk rawat inap di kelas satu. Padahal jatahku untuk rawat inap adalah di kelas dua sesuai golonganku sebagai PNS. Dengan kondisi begitu, mau tidak mau aku harus menambah sekitar 150 ribu per malam, dan biaya visite dokter di luar tanggungan askes. Saat itu juga aku harus membayar sejumlah uang untuk deposit perawatan selama 5 hari.

Kejadian lainnya yang membuatku bingung, di hari pertama di rawat, seorang petugas sudah mendatangiku menyodorkan tagihan perawatan UGD . Karena merasa tidak pernah dirawat UGD, aku menolak tagihan itu. Aku membaca rincian tagihan dan ternyata aku diharuskan membayar pembelian jarum, sarung tangan, obat-obatan dan perawatan UGD lainnya yang aku tidak merasa membelinya dan mempergunakan. Dengan muka masam si petugas menjelaskan, ini semua demi agar saya bisa dirawat sebagai peserta askes. Karena tidak mau berdebat, suamiku membayar semua tagihan tersebut.

Hari kedua dirawat, dokte menyarankan agar aku melaksanakan lagi sejumla hpemeriksaan. Karena obat paten yang sudah aku beli sudah habis aku konsumsi, maka hasilnya harus diketahui sekarang juga. Belum petugas datang mengambil sampel darah dan urine ku, petugas datang lagi menyodorkan tagihan test yang belum aku jalani sama sekali. Tanda tedeng aling-aling tagihan diberikan langsung kepadaku pasien yang sedang terbaring lemah. Aku melihat sejumlah angka di lembaran kertas itu. Kurang dari 50% tagihan yang ditanggung askes. Sisanya aku harus membayar sendiri. Karena suamiku harus bekerja, siang itu tidak ada keluarga yang menemaniku. Lembar tagihan itu hanya aku simpan di bawah bantal.

Apa yang terjadi? Petugas datang lagi dan menyatakan aku harus segera membayar tagihan, karena petugas yang akan mengambil sampel darah dan urine ku akan datang. Jika belum membayar, maka serangkaian tes itu tidak dapat dilaksanakan. Dengan rasa kesal, aku bilang pada petugas tersebut, supaya tes dilaksanakan saja terlebih dahulu sambil menunggu suamiku datang ke RS. Tapi ternayat petugas itu tetap meminta aku untuk membayar langsung ke tangannya. Kembali, karena aku merasa tes itu sangat aku butuhkan, aku mengikuti kemauannya. Aku, pasien yang sedang terbaring, membayar langsung tagihan pada petugas tersebut. Tidak lebih dari 10 menit, petugas laboratorium mendatangiku.

Ternyata hasil tes menunjukkan bahwa liverku sudah dalam keadaan membaik. Tapi kondisiku terus mengalami penurunan. Aku sudah tidak bisa berjalan ke kamar mandi. Setiap habis dari kamar mandi, maka aku merasa sesak yang amat sangat sampai menimbulkan kepanikan suamiku, karena aku pucat pasi dan tidak bisa berdiri lag. Kakiku kesemutan dan hilang rasa.

Dalam sebuah kesempatan visite dokter menyatakan aku harus melakukan lagi serangkaian tes di sekitar perut. USG abdomen namanya. Dokter memerintahkan kepala perawat membuat rujukan agar aku diantar ke bagian radiologi untuk USG abdomen pada hari itu juga.

Namun apa yang terjadi? Aku tidak dijemput, dan tidak diantar oleh perawat ke bagian radiologi. Pdahal suamiku sudah menyiapkan kursi roda untukku dan tabung oksigen portable. Kami terus menunggu sampai malam tiba, tes itu tidak aku jalani.

Keesokan harinya seorang petugas mendatangiku dan menyatakan jatah USG untuk peserat askes harus menunggu satu hari lagi. Karena masih banyak pasien peserta askes lain yang telah mengantri dari kemarin belum terlayani. Jika pun terlayani, dokter yang melakukan USG dan membaca hasil USG bukan dokter spesialis radiologi, tapi dokter-dokter muda yang masih belajar jadi spesialis radiologi.
Kemudian petugas itu menyarankan aku untuk membayar saja 300 ribu rupiah sebagai pasien luar askes untuk mendapatkan tes USG abdomen yang akurat dan cepat serta tidak perlu menunggu lama alias pada saat itu juga.

Benar saja, setelah aku membayar ke petugas tersebut, aku dijemput oleh dua perawat dan dibawa ke bagian radiologi pada saat itu untuk menjalani tes USG abdomen. Pemandangan mengkhawatirkan aku lihat di bagianradiologi. Orang-oarng dengan map plastic yang berisi fotokopian kartu askes dan kertas-kertas serta amplop –amplop hasil tes laboratorium tampak berjubel duduk di seputar ruangan. Aku ditangani langsung oleh dokter spesialis radiologi yang tampak sudah mumpuni membaca hasil USG.Tidak lama menunggu, hasil USG sudah ada ditanganku.

Berikutnya, saat visite pagi-pagi dokter penyakitdalam ku mendatangiku dan melihat hasil diagnose dokter radiologi. Hasilnya ,tidak ada masalah dengan perutku. Ginjal, liver, pancreas dan lainnya tampak normal.

Dokter yang tampak bingung kemudian membuka lagi file foto thorax dan gambaran EKG ku. Normal katanya. Namun dia mencurigai ada sedikit pembengkakan jantung padaku.
Akhirnay dokter menyarankan agar aku menjalani lagi tes echo cardiologi. Semacam USG jantung dengan komputer canggih. Aku kembali dirujuk ke bagian jantung untuk menjalani tes.

Sementara kondisiku sedang parah dan di tengah kebingungan karena penyakitnya belum diketahui, kembali aku mengalami terror tak berkesudahan dari petugas yang datang menyodorkan tagihan. Kali in yang datang tagihan obat yang aku konsumsi sehari 3 x sejak aku dirawat di RS ini.

Yang membuat aku terkaget-kaget adalah, ternyata dari tagihan obat yang hampir mendekati satu juta rupiah, hanya 5% obat yang termasuk DPHO Askes. Sisanya adalah obat paten. Dan yang membuat aku tercengang, ternyata yang ditanggung askes itu adalah hanya obat B-complex. Sisanya, obat mual, obat pelancar buang air kecil dan besar, obat –obat untuk memperbaiki liver dan vitamin C yang semuanya paten.

Aku bertanya-tanya, mengapa dokter yang merawatku tidak memberikan obat yang ada di DPHO ?? Bukankan sedari awal dia mengetahui bahwa aku ini adalah pasien peserta askes??

Masalah tagihan obat belum tuntas, muncul masalah baru, ternyata echocardio tidak termasuk ke dalam daftar layanan askes. Karena itu, aku harus membayar sendiri biaya tes USG jantung itu. Dengan diliputi rasa penasaran yang amat sangat, aku memutuskan untuk menjalani tes sesuai saran dokter.

Aku jadi terbiasa dengan sistem RS ini yang harus semuanya bayar di muka. Aku titip pembayaran tes echo kardio pada petugas. Dan tidak lama kemudian aku dites dokter jantung hebat bernama Pintoko. Dia lah yang pertama kali memberitahuku jika di jantungku bersarang tumor yang dia sebut sebagai mixoma. Pintoko memperkirakan tumor itu berdiameter 3x4 cm dan bertangkai. Tumor itu telah menutup saluran darah dari jantung ke paru-paru dan membuat aku merasakan sesak nafas. Dia juga yang dengan tegas menyatakan aku harus menjalani operasi bedah jantung terbuka secepatnya, sebelum semuanya terlambat.

Aku menyebutnya sebagai petir di siang hari. Di tengah kepercayaan ku terhadap dokter dan rumah sakit ini semaki nmenurun, pada saat yang sama aku harus memutuskan menjalani operasi bedah jantung terbuka atau tidak.

Jujur, aku takut dengan operasi . Tapi aku lebih takut dengan besarnya ongkos yang harus keluargaku tanggung untuk biaya operasi ku. KOndisi kesehatanku semakin menurun. Aku bimbang. Terlebih saat suamiku menanyakan total biaya yang harus aku bayar untuk operasi. Petugas di bagian jantung menyebutkan dengan fasilitas akses yang aku punya, perkiraan biaya mencapai 50 juta rupiah termasuk bayar ruang operasi, obat, perlengkapan dan peralatan operasi, tim dokter termasuk dokter anestesi, di luar biaya rawat inap dan obat-obatan sebelum dan sesudahnya.
50 juta?? Untuk pasien peserta askes??

Di tengah kebimbangan, TUhan menurunkan kekuasaannya. Sejumlah teman yang datang menengokku memberikan semangat dan memberikan informasi berharga. Bahwa ada rumah sakit khusus untuk pasien sakit jantung di Jakarta. RS Harapan Kita bisa memberikan layanan askes dengan standar internasional.

RS Harapan Kita menjelma menjadi tumpuan harapan hidup buatku. Aku melakukan kontak marathon dengan customerservice RS HarKit melalui telepon. Sementara suamiku pergi ke sana untuk survei tempat dan situasi di RS Harkit. Penjelasan customer service lewat telepon itu membangkitkan semangatku. Penuturannya sangat jelas, singkat dan gamblang. Tidak bertele-tele dan menunjukkan profesionalisme.

Sementara itu aku juga terus mencari tahu tentang penyakitku. Rupanya temanku juga melakukan hal yang sama dengan browsing di internet. Hasilnya malah profil dokter Pintoko yang dia dapat. Dokter Pintoko alumni RS Harapan Kita.

Aku meminta para perawat agar dokter PIntoko melakukan visite ke kamar tempat aku dirawat. Tapi aku menangkap usaha menghalang-halangi dari para perawat, dengan alasan harus meminta ijin pada dokter internis yang sejak awal merawatku.

Berbekal info dari seorang teman, aku melakukan kontak langsung dengan dokter pintoko melalui ponselnya. Akhirnay dokter itu datang juga memeriksaku. Ekspresi kaget tergambar di wajahnya, melihat daftar obat-obatan yang aku konsumsi selama ini tidak relevan sama sekali dengan penyakitku.
Akhirnya dia member I resep obat baru padaku. Obat yang akan membuat aku sering pipis karena memang cairan dalam tubuhku harus banyak dibuang agar kerja jantungku tidak terlalu berat.

Kesempatan itu juga aku pergunakan untuk berkonsultasi soal operasi yang akan aku jalani. Ternyata dokter Pintoko terheran-heran karena hingga detik itu, dirinya belum diajak untuk melakukan konfrensi mengenai penyakit , kondisi dan operasiku oleh dokter internis yang merawatku sejak awal.

Yang membuat aku semakin tidak mengerti, sejak Pintoko memeriksaku, dokter internisku tidak muncul-muncul ke ruanganku. Dia seperti ditelan bumi. Sementara dokter Pintoko masih menunggu langkahnya.Tidak jelas, apakah seharusnay ada serah terima pasien atau prosedur dan etika antar dokte seperti apa untuk pasien sepertiku. Memang dari awal aku masuk lewat jalur bagian penyakit dalam, tapi ternnyata penyakitku bersumber dari jantung. Apakah kemudian diserahkan ke bagian jantung atau bagaimana, tidak jelas.

Kesimpangsiuran ini semakin menurunkan kepercayaan ku pada dokter dan pelayanan RS tsb. Akhirnya aku memberanikan diri meminta pendapat Pintoko apakah aku sebaiknya operasi di RS itu atau di Harapan Kita? Pintoko dengan bijak menjawab semuanya terserah padaku, yang penting jika memang akan operasi di RS Harkit, maka dirinya akan memberikan rujukan pada gurunya di RS Harkit yaitu Dr Bambang SPJP.

Di malam ke tujuh aku dirawat di RS itu, suamiku datang dari Jakarta membawa kabar baik. Saat mencari keterangan di RS Harapan Kita, suamiku sempat berbincang dengan mantan pasien operasi dan rawat inap di rumah sakit itu yang kebetulan juga merupakan pasien peserta askes. Informasi dari mereka sangat membantunya untuk semakin optimis memindahkan perawatan ku ke RS Harkit dan melaksanakan operasi di sana. RS Harkit telah melakukan kerjasama yang baik dengan PT Askes. Sehingga biaya yang harus ditanggung oleh pasien peseta askes di RS Harkit hanya berkisal 20% dari total biaya operasi dan perawatan.

Informasi itu seperti oase di padang pasir buat kami. Malam itujuga kami memutuskan untuk pindah ke RS Harkit dan menjalani operasi di sana.

Namun ternyata memindahkan pasien tidak semudah membalikkan telapak tangan. RS temat aku dirawat, berusaha mengulur-ulur waktu agar aku tidak segera pindah. Mulai alasan harus ada ijin dari dokter internistku yang masih berkonfrensi hingga memberikan daftar syarat yang harus aku penuhi sebelum operasi dijalankan. Aku dipaksa melaksanaka nlagi serangkaian tes serupa tes paru , tes kesehatan gigi dan lain-lain.

Parahnya lagi, teror kembali datang dari petugas. Kali ini aku diminta membayar lagi tambahan deposit uang muka, karena sudah hampir 10 hari menjalani rawat inap.

Begitu pula dengan birokrasi askes sendiri, ternyata RS Harkit yang berada di wilayah berbeda dengan domisili ku di Bandung , mengharuskan aku membawa surat rekomendasi dari kantor wilayah askes Jabar ke wilayah askes Jakarta. Surat rekomendasi tersebut harus diurus suamiku ke sebuah kantor di bilangan Pasteur Bandung.

Esok harinya setelah berhari-hari dilanda kebingungan, Tiba-tiba pada suatu siang, seorang dokter bedah thorax mendatangiku dan menanyakan kepastian tempat aku akan menjalani operasi. Rupanya dokter itu dihubungi dokter internisku untuk mengunjungiku. Dengan mantap aku memmilih pindah ke RS Harkit. Aku masih ingat ekspresi dokter itu yang mendadak dingin dan tidak peduli. Dia meninggalkanku begitu saja dengan dua kata “ya sudah…”

Kepindahan pasien seperti ku yang sudah lemah tak berdaya kedari Bandung ke Jakarta melahirkan masalah baru lagi. Layanan askes tidak menyedikan layanan ambulance. Padahal pasien jantung seperti aku harus ditemani dua perawat, tabung oksigen dan peralatan ambulance standar.Aku harus membayar hampir 1,5 juta untuk sewa ambulance.Total untuk perawatan selama 10 hari di RS, aku yang peserta askes harus membayar 7,5 juta rupiah. Total biaya yang fantastis untuk membayar obat paten, tambahan kamar kelas 1, visite dokter dan serangkaian test pendukung diagnose.

Tapi aku bersyukur akhirnya aku pindah ke RS yang jauh lebih beradab. Walau mendapatka layanan kelas dua, namun perawatan di RS Harkit masih membuat aku terkagum-kagum hingga kini. Layanan di RS Harkit jauh lebih berkualitas dibanding layanan kelas satu di RS sblmnya. RS Harkit itu tidak membeda-bedakan pasien askes dengan pasien umum.

Sejak datang di pintu masuk UGD, aku seperti masuk ke dalam peran film ER yang pernah ditayangkan di televisi. Semua petugasnya sigap dan cermat. Petugas administrasinya sangat ramah. Tidak ada acara antre dan fotokopi sana sini. Semuanya dikerjakan petugas. Sangat rapi.

Tidak ada teror petugas dengan lembar tagihan yang mengetuk pintu kamar. Dokter muda calon spesialis sangat menjaga etika dan sopan santun saat turut memeriksa pasien. Kedatangan mereka ke ruangan pasien selalu ditemani dokter senior nya. Petugas laboratorium akan datang setelah dokter memerintahkan. Tidak peduli apakah pasien telah membayar atau belum. Bahkan test scan MRI sebesar 2,7 juta yang tidak terrmasuk layanan askes pun, aku jalani tanpa harus membayar terlebih dahulu. Semua obat yang wajib aku konsumsi adalah obat yang ada dalam DPHO Askes.

Dan yang paling membuat kami bersyukur, dari total biaya perawatan dan operasi sebesar 60 juta, aku hanya diharuskan membayar 9 juta rupiah. Semua pengeluaran begitu terperinci. Mulai peralatan dan perlengkapan yang aku tidak tahu namanya, sampai hal-hal terkecil serupa jarum suntik, infus, obat, sarung tangan, perban, betadine, dan sebagainya.

Apa yang terjadi jika aku memutuskan melaksanakan operasi di RS tmpat aku dirawat sblmnya di bdg ?? Mungkin hutang 60 juta rupiah harus aku tanggung seumur hidupku, kalau aku hidup. Atau keluargaku yang harus menanggungnya jika aku tidak selamat dalam operasi atau meninggal dunia.

Aku tidak habis pikir, mengapa dua rumah sakit yang sama-sama miik pemerintah bisa berbeda dalam memberikan pelayanan askes pada pasien peserta askes? Apa yang membedakan kerjasama dengan PT AKSES di antara keduanya?? Mengapa PT Askes tidak menerapkan kerjasama yang sama dengan semua RS?? Janga nsampai anggapan bahwa layanan askes tidak bisa diandalkan, benar-benar tertanam di benak masyarakat.