Minggu, 17 Oktober 2010

JAZZ KEMPES

Ting!…Ting!…. Suara metronome itu konstan memberikan ketukan dengan tempo legato. Rupanya seperti biasa, aku selalu saja ketiduran setiap suamiku anteng berkutat dengan lagu baru yang akan dia gubah ulang. Beberapa tahun terakhir ini software encore menjadi isteri ke dua nya setelah aku. Lagu apa saja mulai pop, rok, jazz, sampai dangdut pun bisa dia gubah sampai kadang berubah jauh dari aslinya. Biasanya dia akan mencari chord asli lagu yang akan dia gubah. Kemudian jari jemarinya akan dengan lincah menekan papan tuts laptop, mencantolkan satu persatu nada dari melodinya ke dalam kelompok garis-garis yang tersusun rapi. Bulir-bulir not itu ibarat buah yang tangkainya dieratkan lagi ke dahan setelah dipetik. Lima garis paranada yang tertera di layar komputer adalah pohonnya.
Sebelum berubah menjadi sebuah harmoni indah serupa orchestra, nada-nada itu akan berbunyi berulang-ulang tak beraturan dan kadang membuat pusing siapa pun yang mendengarnya. Belum lagi nada-nada itu keluar dengan suara yang berbeda-beda tergantung jenis instrument yang akan dipakainya. Suara trumpet, fluegle, melophone, trombone, baritone dan bas tuba muncul silih berganti. Tidak sampai di situ, petikan gitar sebagai salah satu alat musik yang dikuasainya , ikut meramaikan suasana kamar kami. Biasanya begitulah cara dia menentukan running-running chord sesuai kuncinya.
Tapi kali ini ada yang berbeda. Tidak terdengar nada-nada itu. Kamarku tidak seramai biasanya. Bahkan setengah hening.Yang terdengar hanya suara metronome yang terus berulang dengan tempo yang sama.Dengan mata setengah terpejam, aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah suamiku terlampau lelah, sehingga tertidur di kursi kerjanya ?
“Suster! Segera panggil suaminya!” tiba-tiba sebuah teriakan mengagetkanku.
Aku bingung, mengapa ada suara laki-laki itu ? Siapa dia? Aku berusaha membuka mataku. Berat.
Aku di mana ? tanyaku dalam hati
Aku menoleh ke samping. Pandanganku tidak jelas. Aku tak memakai kacamata.
Terdengar langkah sepatu karet terburu-buru menghampiriku.
“Pak.. kami minta Bapa tandatangan sekali lagi. Kami butuh persetujuan tindakan segera,” suara laki-laki itu terdengar lagi.
Di tengah kebingunganku, aku melihat siluet seseorang..Bentuk wajah itu. Ya.. aku sangat mengenalinya. Bentuk wajah yang akrab buatku. Wajah itu sering terbenam di dadaku. Wajah itu milik seseorang yang dua belas tahun lamanya menemaniku. Suamiku ada di sana. Dibalik tirai.
Suster ? Tindakan ? Mendadak aku tersadar. Aku masih di sini. Terkapar di atas tempat tidur di kamar ini. Ach…aku masih di ruang ICU. Suara tadi suara dokter yang menjagaku. Sejak kemarin entah berapa orang dokter dan suster yang giliran menungguiku, menjagaku, mengawasiku. Mata mereka tak lepas memperhatikan. “I See You” persis sekali nama ruangan ini dengan perlakuan mereka.
“Paru-paru ibu kempes. Sebelah kanan. Kami akan buat lubang di samping payudara ibu di bawah ketiak. Selang akan kami masukan ke sela-sela tulang rusuk ibu. Paru-paru nya butuh ditiup lagi.” Penuturan itu jelas di telingaku.
Kempes ?? Memangnya paru-paru ku ban motor atau mobil ?? aku bersungut dalam hati. Kulihat bayangan suamiku menerima sodoran bolpen dan selembar kertas. Ia menandatanganinya.
Untuk kesekian kalinya, suamiku menandatangani surat persetujuan tindakan atau medical informed consent . Pastinya tak terbayang sebelumnya oleh dia, janji sehidup semati dia padaku selama enam tahun pacaran plus enam tahun menikah, akan termasuk di dalamnya menandatangani selembar kertas yang menghalalkan apapun tindakan dokter pada isterinya, yang menentukan hidup atau mati.
Andai saja paru-paru ku seperti sebuah trumpet Shelmer Bach. Tak perlu dokter itu turut campur. Suamiku pasti menjadi orang pertama yang meniupnya. Sebelum menjadi pelatih dan arranger marching band, suamiku adalah peniup trumpet handal. Prestasinya sebagai solois horn line sudah me-nasional. Sempat dia dijuluki “the compressor” saking nafasnya tiada pernah habis meniupkan nada sampai lebih tiga oktaf. Kisah cinta kami pun dulu dimulai di lingkungan yang sama. Kami sama-sama peniup trumpet semasa kuliah dulu.
Aku teringat beberapa waktu sebelumnya saat vonis itu datang. Sejak aku mengeluhkan sering sesak dan jatuh pingsan. Dokter bedah jantungku datang menghampiriku. Memaparkan dengan hati-hati. Walau artikulasinya agak cadel, dia menjelaskan hasil observasi dan pemeriksaan nuklir pada paru-paruku.
“Ibu, selama ini ibu hidup hanya dengan sebelah paru-paru. Paru-paru ibu bekerja, tapi tidak terjadi pertukaran udara. Jika hanya dengan foto rontgen, gejala itu tidak terlihat”, tuturnya jelas.
“Ini hasil observasi kami pada paru-paru ibu. Ibu lihat, paru-paru yang kiri tampak terang. Sedangkan paru-paru kanan ibu tampak gelap lebih dari separuh”, logat Jerman nya nampak jelas menandakan ia menghabiskan masa kuliahnya di daratan Eropa sana.
Sejenak aku termenung memperhatikan BJ Habibie muda ini. Bukan karena aku ke-geer-an karena salah satu personil band The Doctors itu berhadapan denganku. Bukan karena kekagumanku atas permainan saxophone nya di ajang Java Jazz beberapa bulan sebelumnya. Bukan.
“Selama ini ibu tidak merasakan gejala apa-apa? “ tanya nya menyelidik.
Aku tak menjawab.Mana mungkin selama ini aku hidup hanya dengan sebelah paru-paru ?
“Aku ini mantan pemain trumpet . Sama seperti kembaranmu yang dokter spesialis jantung itu!” Teriakku padanya dalam hati.
Bedanya kalian berdua bermain di ajang internasional seperti Jak Jazz. Sedangkan aku hanya pemain trumpet kelas marching band. Marching Band mahasiswa lagi! Sungutku lagi, tetap dalam hati.
“Ibu olahraganya apa?” tanya nya lagi terus menelisik.
“Saya berenang dok. Bulan lalu saya pingsan saat bangkit dari kolam renang. Tapi anehnya saat berenang saya tidak merasakan apa-apa” jelasku.
“Ya..tumor di jantung ibu kan sifatnya mobile. Dia bergerak sesuai posisi ibu. Saat berenang, posisi Ibu kan horizontal. Seperti saat ibu tidur sekarang. Ibu tidak sesak kan? Tanya nya lagi. Sedangkan saat posisi vertical, tumor itu menghalangi jalan darah ibu ke paru-paru,” jelasnya lagi.
Aku masih terheran-heran. Bagaimana aku bisa bertahan selama ini?
“Tapi tak masalah. Ada beberapa orang di dunia ini yang hidup dengan sebelah paru-paru koq Bu,”katanya mencoba menenangkan aku. “Tapi tidak boleh terlalu cape, harus mengurangi aktivitas.
“Jadi, tidak ada cara lain, dada Ibu harus dibuka. Selain kita ambil tumornya, thrombus atau bekuan darah yang ada di paru-paru Ibu sebisa mungkin kita akan bersihkan. Kami akan usahakan agar paru-paru Ibu bisa bekerja lagi seperti semula.
Weks! Penjelasan gamblang itu tak mampu mengubah perasaan dalam hatiku. Tetap saja dadaku harus dibelek!
“Kemungkinan nya gimana dok?” tanyaku pelan
“Ya.. ini tindakan dengan resiko besar. Tapi tingkat keberhasilannya pun besar. Tidak masalah.” Katanya lagi.
Tidak masalah dengkulmu!! Aku menggerutu lagi dalam hati
“Tapi tumor itu jinak kan dok?” tanyaku lagi
“Hasil MSCT Scan menunjukkan begitu. Tetapi saya tidak bisa jamin 100% sebelum kami benar-benar membuka dada ibu. Yang bisa memastikannya kan hanya hasil pathology anatomy. Tetapi, jika tampak teksturnya ganas, tumor ibu hanya akan kami ambil sedikit, kemudian dada ibu akan kami tutup lagi, karena jika itu serupa cancer, maka penanganannya akan berbeda. Tapi jika itu adalah tumor jinak, maka kami usahakan untuk mengambil semuanya,” tuturnya panjang lebar.
Phuih! Ribuan peluru ditembakkan ke dadaku dalam waktu bersamaan tanpa henti. Temponya cepat. Setiap selongsongnya jatuh menyentuh tanah, memantulkan nada yang memekakkan telinga. Not tak beraturan layaknya bunyi instumen brass yang ditiupkan sekenanya sebelum tersusun indah menjadi sebuah aransemen music untuk parade marchingband. Bersahutan dengan tiupan saxophone dan trumpet si kembar The Doctors, memainkan musik jazz kontemporer yang tak aku mengerti sama sekali.
Aku limbung.........

Tidak ada komentar: